Welcome to Kavtania's Blog

Melewati sisi waktu yang tak terhenti, bernaung dalam ruang yang tak terbatas, untuk sebuah pemahaman yang tak berujung ...
Follow Me
Rating adalah hidup-mati stasiun televisi. Semakin tinggi rating, semakin banyak pemasang iklan. Harga jual slot siaran niaga pun semakin mahal. Ini berarti semakin besar pemasukan. Sebaliknya, jika ratingnya terus-menerus rendah, dapat dipastikan sebuah stasiun televisi takkan bisa bertahan.

Penyelenggaraan survai rating televisi di tanah air dirintis oleh Survai Research Indonesia (SRI) semenjak 1990. Pada tahun 1994 AC Nielsen — perusahaan riset pemasaran terkemuka asal Amerika Serikat — mengakuisisi SRI, sehingga namanya berubah menjadi AC Nielsen-SRI. Selanjutnya beberapa kali perusahaan ini berganti nama. Pertama, AC Nielsen Media International, kemudian Nielsen Media Research. Terakhir pada tahun 2004 ia menjadi AGB Nielsen Media Research.

Sebelum pemeringkatan, Nielsen mengadakan TV Establishment Survey guna mengetahui persentase kepemilikan televisi pada tingkat rukun tetangga. “Tingkat panetrasi TV Indonesia lumayan tinggi,” kata Irawati Pratignyo, Direktur Pelaksana AGB Nielsen Media Research. Ia menyebutkan angka delapan puluh persen.

Pelaksanaan metodologi, jelas Irawati, mengacu Panduan Global Pengukuran Khalayak Televisi (Global Guidelines for TV Audience Meausurement), yaitu prosedur standar pengukuran rating Nielsen di dunia.

Pengukuran kemudian dilakukan di sepuluh kota besar, yaitu Jakarta dan sekitarnya (Bogor, Tangerang, Bekasi), Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya (dan Gerbangkertasila), Denpasar, Makasar, Medan, Palembang, dan Banjarmasin.

Penyebaran sampel tidak sama di setiap kota, yaitu Jakarta 55 persen, Surabaya 20 persen, Bandung 5 persen, Yogyakarta 5 persen, Medan 4 persen, Semarang 3 persen, Palembang 3 persen, Makassar 2 persen, Denpasar 2 persen, dan Banjarmasin 1 persen. Angka ini proporsional berdasarkan populasi kepemilikan televsisi di tiap-tiap kota itu. Kepemilikan televisi di Jakarta, misalnya, 55 persen terhadap total 10 kota, maka jumlah sampelnya 55 persen.

Batasan populasi, kata Irawati, “adalah semua penduduk kota yang terdaftar dalam Kartu Keluarga, berusia berusia lima tahun atau lebih, dan tinggal di rumah tangga yang memiliki pesawat televisi dengan keadaan baik.” Lantas, ujarnya, sampel ditentukan berdasarkan teknik acak berjenjang (stratified random).

Peoplemeter

“Di televisi responden dipasang peoplemeter,” jelas Irawati. Peoplemeter adalah alat yang mampu mengukur jumlah penonton — paling tidak selama satu menit, atau minimum 17 detik — pada sebuah acara. Alat ini mampu melacak pilihan frekuensi teleivsi sampai 999 saluran dan mendeteksi frekuensi, modulasi gambar, dan modulasi audio-video. “Tapi, ia tidak memperhitungkan preferensi (suka, tidak suka), tidak juga kualitas program (apakah baik atau buruk),” jelas Irawati.

Pada peoplemeter tersambung sebuah gagang (handset) yang terprogram untuk mencatat jati diri setiap anggota keluarga. Bila hendak menonton, sebagai contoh, mereka menekan salah satu tombol pada gagang itu terlebih dahulu. Secara otomatis alat itu mengumpulkan data tentang acara apa saja yang dipirsa setiap anggota keluarga dalam hitungan menit. Jadi, responden tidak perlu lagi mengisi kuesioner semenjak memulai menonton televisi sampai selesai. “Dengan begitu, sistem ini mengurangi kesalahan manusiawi (human error),” kata Irawati.

Teknik Survei rating TV

Jika terdapat dua televisi dalam sebuah rumah, jumlah peoplemeter yang dipasang juga dua. Yang jelas, aktivitas menonton pembantu ataupun satpam — kalau ada — tidak direkam. Begitu juga, televisi khusus untuk pembantu dan satpam tidak dipasang peoplemeter.

Pengukuran oleh peoplemeter berlangsung secara seketika (online) dan tunda (offline). Pada cara tunda, data tentang perilaku menonton direkam terlebih dahulu ke disket yang terletak dalam slot peoplemeter. Disket itu kemudian setiap minggu diambil oleh seorang petugas Nielsen.

Pada cara seketika, data terkumpul pada saat responden menonton. Pada cara ini peoplemeter – yang tersambung dengan telepon rumah — dikoneksi pusat data Nielsen pada sekitar jam dua dini hari. “Persoalannya, Telkom melakukan perbaikan pada jam-jam ini. Jadi, seringkali tidak terhubung,” kata Irawati. Itulah sebab, tambahnya, data peringkat di Indonesia baru dapat dikeluarkan secara mingguan, belum harian.

Irawati mengungkapkan, panjang program televisi ikut mempengaruhi rating. Misalnya, sebuah program berdurasi tiga puluh menit pada awalnya berating sepuluh persen. Ketika diperpanjang menjadi enam puluh menit, ratingnya turun menjadi delapan peratus karena angka pembagi — yaitu jumlah khalayak — semakin besar.

Selain itu, kualitas gambar mempengaruhi rating. Jika kualitas gambar buruk, penonton akan cenderung meninggalkan saluran itu, tak peduli betapa bagusnya program acara.

Pada saat jam-jam puncak (peak hour), penonton memiliki pilihan terbatas karena setiap saluran menyajikan jenis program yang sama. Adapun acara-acara kagetan seperti Piala Dunia, liburan sekolah, bencana alam, bom, dan sejenisnya mampu mendongkrak rating.

Membaca Rating Nielsen

Pemeringkatan dengan peoplemeter juga tidak dilakukan di desa-desa, lantaran, “di desa kehidupan berjalan tidak sedinamis di kota,” kata Irawati. Kalaupun ada, responden di desa hanya membuat catatan harian tentang aktivitas menonton mereka. Itulah sebab, ujar Irawati, “Kami tidak pernah mengklaim hasil rating kami bisa digeneralisasi secara nasional.”

Memang survai rating Nielsen memiliki validitas internal yang baik: ia menggunakan alat ukur canggih yang mampu mengurangi kesalahan masukan data sekecil-kecilnya. Akan tetapi, validitas eksternalnya terlalu lemah untuk sampai bisa megatakan bahwa hasil rating ini mewakili gambaran umum se-Indonesia.

Hasil rating harus dibaca lebih spesifik, hanya berlaku untuk kota besar di barat negeri yang tercakup pengukuran ini. Lagipula, sampel tidak meliputi wilayah pedesaan yang justru didiami delapan puluh persen masyarakat Indonesia.

Selain itu, 55 persen sampel adalah khalayak Jakarta. Jadi, boleh dibilang masyarakat Jakarta “sangat berkuasa” mempengaruhi jenis tayangan televisi, karena hasil rating menjadi acuan siaran stasiun televisi Jakarta, yang daya pancarnya menjangkau hampir seluruh Nusantara.

Sepuluh kota dipilih sebagai sampel berdasarkan riset Nielsen tentang “kebutuhan pengguna data” seperti industri, iklan, biro iklan, dan stasiun televisi. Pertimbangannya, distribusi barang dan jasa terkonsentrasi di kota itu. Jadi, rating sebenarnya melayani kepentingan industri untuk mempromosikan barang dan jasa mereka yang distribusinya terkonsentrasi di kota-kota besar itu, bukan mengungkapkan perilaku-menonton khalayak secara umum.

Fenomena ini mencerminkan ketimpangan penyebaran kemakmuran di tanah air. Sayangnya, ketimpangan ini justru memunculkan dominasi budaya tertentu (misalnya gaya hidup kota besar yang konsumtif), yang berdaya mendiktekan tayangan televisi, dan menyeragamkan budaya Indonesia yang majemuk.

Pada akhirnya, kualitas sebuah acara tetap bergantung pada kebijakan stasiun televisi, bukan rating. Acara berating tinggi tidak benar-benar mengindikasikan bahwa acara itu disukai. Sebab, ada faktor lain semisal pilihan khalayak terbatas (karena homogenisasi acara tadi, atau karena stasiun televisi sering latah ikut-ikutan).

Sekarang berpulang kepada stasiun televisi, apakah kebijakan penayangan mereka sangat mempertimbangkan kualitas, kesusilaan, dan norma-norma masyarakat dengan semangat pencerahan, ataukah asumsi-asumsi tafsiran rating yang sebaliknya.

Sumber:
Junarto Imam Prakoso


fikirku melaju pada terlewatnya masa pada suatu kisah
ketika itu hati bagai tanpa makna rasa
kepolosannya terlalu menatap lurus kebaikan masa depan
dan nyanyian asmara bagai kereta hati tak bersuara

dan ketika kertas mulai menuntun pena tuk menata bait-bait kehangatan hati,
ketulusannya berulang melangkah perlahan menyisiri jalan yang mungkin terbuka
meski ramahnya jiwa tlah menuntun kertas tuk menyusun buku cinta,
namun lembaran-lembaran kertas dalam buku itu bagai naskah lekang pada cerminan diri

kemudian waktu berarak menelan ingatan hati
ketika layar menyapa guratan garis wajahnya
sesaat bibirpun mencoba tuk menahan keharuan senyuman hati yang menggoda
dan ketika bertegur sapa menjadi kembali terasa indah,
maka kertas dan buku itu menjadi terasa menyatu dalam kekhusyuan masa lalu
namun ketika cahayaNya menyinari kalbu,
serentak buku itu menutup erat kertas-kertas yang mencoba menyatu dalam keusangannya

dan hari ini, biarlah kertas dan buku itu hanya tertulis dalam sebuah prasasti memori,
bahwa ada hati yang sempat saling menyapa,
walau tak sempat menyatu sekedar dalam sebuah bait keindahan cerita asmara ...

Contact Form

Name

Email *

Message *

Labels

Translate

Revolusi Akal dan Hati

Melewati sisi waktu yang tak terhenti, bernaung dalam ruang yang tak terbatas, untuk sebuah pemahaman yang tak berujung ...

Total Pageviews