Welcome to Kavtania's Blog

Melewati sisi waktu yang tak terhenti, bernaung dalam ruang yang tak terbatas, untuk sebuah pemahaman yang tak berujung ...
Follow Me
Seorang warga DKI pendukung Ahok yang berprofesi sebagai Tukang Ojek pada suatu senja terlihat berdiskusi dengan sahabat karibnya.

Ahoker: "Mas, Ahok kan jujur, kita harus pilih dia"
Bahoker: "Bagaimana mengukur kejujuran menurut anda?"

Ahoker: "Ya bisa dilihat dari keberanian nya melawan koruptor. Dia sangat tegas"
Bahoker: "Ketegasan saja tak bisa dijadikan sebagai alat ukur sebuah kejujuran. Bisa jadi tegas nya untuk menutup kekeliruannya. Bukannya dia malah tersangkut banyak kasus korupsi? Kasus Pengadaan Bus Trans Jakarta, UPS, Reklamasi & Sumber Waras adalah beberapa kasus yang melibatkan dia, ketika dia menjadi pengambil kebijakan utama."

Ahoker: "Tapi dia tetap jujur mas. Buktinya dia berani dalam persidangan"
Bahoker: "Banyak yang berani dalam persidangan. Tapi yang beberapa kali bilang lupa, baru Ahok yang saya tahu. Pernah tanda tangan izin reklamasi dia lupa. Pernah tanda tangan kasus UPS dia sempat bilang lupa juga, malah nuduh Jokowi. Keberanian mengikuti persidangan tak bisa dijadikan alat ukur kejujuran."
Klaim Ahok dan fakta berbeda

Ahoker: "Lalu bagaimana cara mengukur kejujuran seseorang?"
Bahoker: "Kejujuran adalah soal hati. Tak mudah memang mengukur nya. Namun bisa kita lihat dari konsistensinya. Dalam kasus reklamasi misalnya, apakah dia konsisten mengatakan bahwa izin reklamasi bukan dia yang mengeluarkan? Atau dalam kasus Suni. Apakah dia konsisten mengatakan posisi Suni dalam pemprov DKI? Sekali waktu dia bilang anak magang, sekali waktu dia bilang diberikan kewenangan menjadi koresponden proyek reklamasi. Atau dalam hal pencalonan dia menjadi Cagub Pilkada DKI 2017. Sekali waktu dia melecehkan partai, tak akan mau dicalonkan lewat jalur partai. Bahkan pernah bilang, kalau harus lewat jalur partai, lebih baik tak calonkan gubernur jika harus meninggalkan TemanAhok. Kenyataanya? Dia jiat ludah sendiri yang sudah dikeluarkan. Pada kasus lain soal cuti kampanye, dulu Ahok ngotot mendukung cuti. Sekarang ngotot dia gak mau cuti kampanye. Dan masih banyak kasus inkonsistensi Ahok lainnya. Apakah orang tak konsisten bisa dipegang kejujurannya?"
Ahok tak konsisten soal cuti kampanye
Ahok tak konsisten soal Sunny

Ahok tak konsisten soal jalur pencalonan
Ahok tak konsisten nantang duel

Ahoker: "Tapi dia adalah orang yang bertanggung jawab atas keputusannya"
Bahoker: "Bagaimana mungkin kita bisa bilang dia adalah orang yang bertanggung jawab sementara dalam banyak kesempatan dia sering menyalahkan pihak lain atas kinerja buruknya. Saya ambil contoh soal banjir misalnya. Silakan Googling, berapa banyak pihak yang disalahkan oleh dia dan tak terbukti sama sekali kebenaran tuduhan nya itu. Fakta nya banjir masih melanda DKI Jakarta setelah dia menyalahkan sana sini".
Ahok salahkan pihak lain
Penyebab banjir Ahok salahkan pihak lain

Ahoker: "Tapi dia banyak prestasi dalam kerjanya"
Bahoker: "Bisa anda sebutkan apa saja prestasi nya?"

Ahoker: "Ada pembangunan MRT yang dulu nya mangkrak. Dia juga mampu meningkatkan perekonomian Jakarta. Pembangunan terus berjalan"
Bahoker: "Argumentasi anda itu lemah. Keberhasilan pembangunan itu parameter nya jelas. Alat ukurnya jelas pula yang terukur secara kuantitatif, bukan kualitatif atau sekedar opini. Anda bisa buka portal BPS misalnya. Banyak sekali parameter ukur terkait keberhasilan pembangunan. Sebut saja misalnya kualitas perencanaan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, peningkatan shortfall, perbaikan Gini Rasio, pencapaian serapan anggaran, dan lain sebagainya. Silakan diamati, apakah Ahok lebih berhasil dari Gubernur sebelumnya dalam beberapa indikator ekonomi. Faktanya, dalam serapan anggaran saja misalnya, semasa dia memimpin, serapan anggaran DKI adalah yang terburuk. Bahkan terendah dari semua provinsi. Kemenpan juga memberikan penilaian tak bagus, hanya urutan 18 dari seluruh provinsi. Apakah itu yang dinamakan berhasil dan kinerjanya hebat?"

Perumbuhan Ekonomi Provinsi DKI Jakarta Tahun 2011-2015

Gini Rasio Provinsi DKI Jakarta Tahun 2011-2015
Target dan Realisasi Anggaran Provinsi DKI Jakarta Tahun 2011-2015

Ahoker: "Tapi dia masih banyak pendukung nya dari survei yang diadakan"
Bahoker: "Survei dari lembaga mana? Independen tidak? Sampel responden yang digunakan dalam survei sudah mewakili karakteristik populasi belum? Sudah bukan rahasia umum kalau lembaga-lembaga survei syarat dengan kepentingan. Survey by order. Lihat saja faktanya, demo menolak Ahok jauh lebih besar dibanding demo dukung Ahok yang hanya beberapa gelintir orang. Lagi pula kalau pun elektabilitas Ahok itu tinggi, apakah kita akan memilih dia yang kinerjanya terbukti jeblog dan tak memenuhi syarat seorang pemimpin seperti yang saya sudah jelaskan sebelumnya?"
Demo tolak Ahok
Ahoker: "Tapi...."
Bahoker:‎ "Sudahlah, anda kan muslim. Kembalikan saja pada Alquran dan Hadits dalam mendapatkan kaidah bagaimana memilih seorang pemimpin yang benar. Larangan mengangkat pemimpin kafir itu sudah jelas. Sebagian besar fatwa ulama mengharamkannya. Ibarat syarat nikah, Ahok ini belum cukup umur dan belum disunat. Jadi sudah tidak memenuhi syarat dasar. Dia tidak memiliki syarat dasar untuk menjadi pemimpin kaum muslimin karena kekafiran nya.
Bahkan kalau pun anda bukan muslim. Adakah perintah Tuhan dalam kitab suci mana pun yang menganjurkan manusia berkata kotor? Atau adakah suatu ayat yang menyatakan "Dalam perkataan yang kotor terdapat hati yang bersih"? Dia Kristen, tapi dia mencela agama nya sendiri dengan mengatakan ajaran Kristen konyol.
Tapi itu pun terserah anda saja. Saya hanya mengingatkan bahwa setiap keputusan yang kita ambil, apalagi terkait keputusan memilih seorang pemimpin yang berpengaruh terhadap kebaikan orang banyak, pasti akan dimintai pertanggung jawaban nya di dunia maupun akhirat kelak.
Janganlah kita mengikuti sesuatu yang kita tak memiliki pengetahuan yang memadai terkait yang diikuti tersebut.
Ahok dan larangan perkataan kotor
Ahoker: "Tapi mas..."
Bahoker: "Anda kebanyakan 'tapi' tanpa menyertakan data dalam berargumen. Daripada mendebat tanpa data, mendingan kita makan saja yuk. Saya yang traktir deh. Saya tahu anda sedang menurun pendapatannya akibat kebijakan Ahok terkait pelarangan motor melewati jalan protokol kan?"

Ahoker: "Iya mas.."
Bahoker: "Tapi jangan sampai ketemu restoran yang ada menu daging anjing nya ya. Sebab kemarin baru saja dilegalkan Ahok peredaran nya. Yuk cap cuss..." :)

Masih banyak umat Islam yang belum memahami sumber-sumber hukum Islam, hiearkinya dan kaidah pengambilan keputusan melalui ijtihad.

Sehingga amat wajar jika dalam pengambilan keputusan berpolitik pun masih banyak dari umat Islam yang akhirnya keliru dalam mengambil keputusan atau memahami sikap seseorang yang telah menggunakan kaidah tersebut.

Semoga tulisan ini bisa memberikan tambahan pencerahan buat kita semua untuk memahami lebih mendalam tentang sumber hukum Islam dan kaidah pengambilan keputusan yang benar.


MEMAHAMI SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM

1. AL-QUR’AN

A. Pengertian Al-Qur’an
Menurut bahasa, Al-Qur’an berasal dari kata dasar Qara-Yaqra’u, Qira’atan-Wa qur’anan, yang artinya bacaan. Sedangkan meurut istilah, Al-Qur’an adalah firman Allah swt. Yang merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dengan perantara Malaikat Jibril yang tertulis dalam mushaf-mushaf dan disampaikan kepada manusia secara mutawatir yang diperintahkan untuk mempelajarinya. Al-Qur’an tediri dari 114 surat dan 30 juz.
Ada dua cara turun Al Qur’an, pertama secara mujmal (30 juz sekaligus) yaitu diturunkannya Al Qur’an dari ‘Arsy ke Lauh Mahfudh, kedua secara bertahap (Tadriij) sesuai dengan peristiwa / masalah yang dihadapi Nabi yaitu dari Lauh Mahfudh ke dunia yang disampaikan oleh Malaikat Jibril.

B. Kedudukan Al-Qur’an
Sebagai kitab suci, Al-Qur’an merupakan pedoman hidup kaum muslimin. Sebab di dalamnya terkandung aturan dan kaidah-kaidah kehidupan yang harus dijalankan oleh umat manusia. Allah swt. Menetapkan Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama bagi hukum Islam. Sebagaimana firman-Nya :

“Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab )Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad), membawa kebenaran agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penantang (orang-orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang bekhianat. (QS. An Nisa’ : 105).”

C. Fungsi Al-Qur’an
1) Sebagai pedoman hidup manusia
2) Sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa
3) Sebagai mukjizat atas kebenaran risalah Nabi Muhammad saw.
4) Sebagai sumber hidayah dan syari’ah
5) Sebagai pembeda antara yang hak dan yang bathil


2. AL HADITS

A. Pengertian Hadits
Menurut bahasa, hadits artinya baru, dekat dan berita. Sedangkan menurut istilah, hadits adalah perkataan (qaul), perbuatan (fi’il) dan ketetapan (taqrir) Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum. Hadits disebut juga Sunnah, yang menurut bahasa artinya jalan yang terpuji atau cara yang dibiasakan. Menurut istilah, sunnah sama dengan pengertian hadits, yaitu segala ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad saw. yang harus diterima sebagai ketentuan hukum oleh kaum muslimin dan segala yang bertentangan dengannya harus ditolak.

B. Kedudukan Hadits
Sebagaimana Al-Qur’an, hadits juga merupakan sumber hukum Islam. Derajatnya menduduki urutan kedua setelah Al-Qur’an. Hal ini merupakan ketentuan Allah swt. Sebagaimana firman-Nya :

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (QS. Al Hasyr : 7)”

C. Fungsi Hadits
Sebagai sumber hukum Islam yang kedua, Al-Hadits mempunyai beberapa fungsi yang sangat penting bagi ditegakkannya hukum Islam, diantaranya sebagai berikut :
1) Sebagai penguat hukum yang sudah ada di dalam Al-Qur’an/Bayan At Tauhid
2) Sebagai penjelas atas hukum-hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini tiga fungsi yang diperankan Al Hadits adalah sebagai berikut :
- Menjelaskan dan merinci hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an secara global (ijmali).
- Memberi batasan atas hukum-hukum dalam Al-Qur’an yang belum jelas batasannya.
- Mengkhususkan hukum-hukum dalam AL-Qur’an yang masih bersifat umum.
3) Menetapkan hukum-hukum tambahan atas hukum-hukum yang belum terdapat di dalam Al-Qur’an.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Al Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua tidak dapat dipisahkan dari Al-Qur’an. Barangsiapa yang mengakui Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam dan mengingkari Hadits sebagai sumber hukum Islam kedua, berarti ia termasuk golongan ingkar Sunnah, golongan orang-orang yang sesat. Sebab, hakikatnya ia juga mengingkari isi kandungan Al- Qur’an itu sendiri.

D. Macam-macam Hadits
1) Hadits Qauliyah: Hadits yang didasarkan atas segenap perkataan dan ucapan Nabi Muhammad saw.
2) Hadits Fi’liyah: Hadits yang didasarkan atas segenap perilaku dan perbuatan Nabi Muhammad saw.
3) Hadits Taqririyah : hadits yang didasarkan pada persetujuan Nabi Muhammad saw. terhadap apa yang dilakukan sahabatnya.
Selain itu dikenal hadits lain yang disebut Hadits Hammiyah yaitu hadits yang berupa keinginan Rasulullah saw. yang belum terlaksana.


3. IJTIHAD

Al-Qur’an dan hadits tidak akan berubah dan mengalami penambahan isi bersama dengan berakhirnya wahyu, sementara permasalahan dan problematika kehidupan senantiasa muncul sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Untuk menjawab permasalahan tersebut, Islam menggariskan ijtihad sebagai sumber hukum yang ketiga.

A. Pengertian
1) Menurut arti bahasa Ijtihad berarti : memeras pikiran/berusaha dengan giat dan sungguh-sungguh, mencurahkan tenaga maksimal atau berusaha dengan giat dan sungguh-sungguh.
2) Menurut istilah Ijtihad berarti : berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapan hukumnya, baik dalam Al-Qur’an maupun Hadits, dengan menggunakan akal pikiran serta berpedoman kepada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Dalam Al-Qur’an dan Hadits tersebut orang yang melakukan ijtihad disebut Mujtahid.
Adapun dasar keharusan ijtihad antara lain terdapat di dalam Al-Qur’an surat An Nisa’ [4] : 59 dan sabda Rasulullah saw. kepada Abdullah bin Mas’ud :
Berhukumlah engkau dengan Al-Qur’an dan As Sunnah apabila persoalan itu kau temukan dua sumber tersebut, tapi apabila engkau tidak menemukannya pada dua sumber tersebut maka berijtihadlah!.

B. Syarat-syarat melakukan ijtihad
1) Mengetahui isi dan kandungan Al-Qur’an dan Al Hadits
2) Mengetahui seluk beluk bahasa Arab dengan segala kelengkapannya
3) Mengetahui ilmu ushul dan kaidah-kaidah fiqh secara mendalam
4) Mengetahui soal-soal Ijma’
Adapun hal-hal yang bisa diijtihadkan adalah hal-hal yang di dalam Al-Qur’an dan Al Hadits tidak diketemukan hukumnya secara pasti.

C. Kedudukan dan Dalil Ijtihad
Ijtihad sangat diperlukan dalam kehidupan umat Islam untuk mencari kepastian hukum (Islam) terhadap berbagai persoalan yang muncul yang tidak ditemukan sumber hukumnya secara jelas dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Selain itu, nas Al-Qur’an dan Al-Hadits sendiri juga mengharuskan kaum muslimin yang memiliki kemampuan pengetahuan dan pikiran untuk berijtihad. Perhatikan firman Allah swt. Berikut ini:

"Maka ambilah (kejadian) itu menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan. (QS. Al Hasyr : 2)”

Juga hadits Rasulullah saw. yang dikutip oleh Ibnu Umar berikut :
“Kamu lebih mengerti mengenai urusan kehidupan duniamu. (HR. Muslim)”

D. Metode-metode Ijtihad
Ada beberapa cara atau metode yang telah dirumuskan oleh para mujtahid dalam melakukan ijtihad yang juga merupakan bentuk dari ijtihad itu sendiri, antara lain adalah :

1) Ijma’
Menggunakan bahasa Ijma’ berarti menghimpun, mengumpulkan dan menyatukan pendapat. Menurut istilah ijma’ adalah kesepakatan para ulama tentang hukum suatu masalah yang tidak tercantum di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.

2) Qiyas
Menurut bahasa Qiyas berarti mengukur sesuatu dengan contoh yang lain, kemudian menyamakannya. Menurut istilah, Qiyas adalah menentukan hukum suatu maslaah yang tidak ditentukan hukumnya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits dengan cara menganalogikan suatu masalah dengan masalah yang lain karena terdapat kesamaan ‘illat (alasan).

3) Istihsan
Menurut bahasa, Istihsan berarti menganggap/mengambil yang terbaik dari suatu hal. Menurut istilah, Istihsan adalah meninggalkan qiyas yang jelas (jali) untuk menjalankan qiyas yang tidak jelas (khafi), atau meninggalkan hukum umum (universal/kulli) untuk menjalankan hukum khusus (pengecualian/istitsna’), karena adanya alasan yang menurut pertimbangan logika menguatkannya. Contoh: menurut istihsan sisa minuman dari burung-burung yang buas seperti elang, gagak, rajawali dan lain-lain itu tetap suci berbeda dengan sisa minuman dari binatang-binatang buas seperti harimau, singa, serigala dan lain-lain yang haram dagingnya karena sisa makanan binatang-binatnag buas ini  mengikuti hukum dagingnya, maka sisa minumannya juga haram (najis). Alasan kesucian dari sisa minuman burung-burung buas tadi : meskipun haram dagingnya, karena burung-burung itu mengambil air minumnya dengan paruh yang berupa tulang (dimanan hukum tulang itu sendiri suci) dan tidak dimungkinkan air liur / ludah yang keluar dari perutnya (dagingnya) itu bercampur dengan sisa minuman tadi. Sedangkan binatang-binatang buas mengambil air minum dengan mulutnya yang sejenis daging sehingga dimungkinkan sekali sisa minumannya bercampur dengan ludahnya.

4) Masalihul Mursalah
Menurut bahasa, Masalihul Mursalah berarti pertimbangan untuk mengambil kebaikan. Menurut istilah, Masalihul Mursalah yaitu penetapan hukum yang didasarkan atas kemaslahatan umum atau kepentingan bersama dimana hokum pasti dari maslah tersebut tidak ditetapkan oleh oleh syar’I (al Qur’an dan Hadits) dan tidak ada perintah memperhatikan atau mengabaikannya. Contoh penggunaan masalihul mursalah kebijaksanaan yang diambil sahabat Abu Bakar shiddiq mengenai pengumpulan al Qur’an dalam suatu mush-haf, penggunaan ‘ijazah, surat-surat berharga dsb.

Dengan perkembangan zaman yang terus semakin maju, muncul berbagai masalah baru yang belum dijumpai ketetapan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Masalah-masalah baru tersebut membutuhkan ijtihad, sehingga menjadi hukum bagi kaum muslimin. Hal ini menuntut kita semua untuk selalu memperdalam ilmu pengetahuan dan wawasan keagamaan kita, sehingga kita mampu menjadi para mujtahid yang memiliki syarat-syarat ijtihad dengan benar. Pintu ijtihad masih terbuka lebar bagi setiap umat muslim yang memiliki syarat-syarat ijtihad. Islam sangat mendorong kaum muslimin untuk melakukan ijtihad. Hal ini ditegaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya yag diriwayatkan Mu’az bin Jabal:

"Apabila seorang hakim memutuskan masalah dengan jalan ijtihad kemudian benar, maka ia mendapat dua pahala, dan apabila dia memutuskan dengan jalan ijtihad kemudian keliru, maka dia memperoleh satu pahala. (HR. Bukhari Muslim).”

5) Istish-hab
Melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah diterapkan karena adanya suatu dalil sampai datangnya dalil lain yang mengubah kedudukan hukum tersebut. Misalnya apa yang diyakini ada, tidak akan hilang oleh adanya keragu-raguan, contoh : orang yang telah berwudlu, lalu dia ragu-ragu apakah sudah batal atau belum, maka yang dipakai adalah dia tetap dalam keadaan wudlu dalam pengertian wudlunya tetap sah. Seperti itu juga dalam hal menentukan suatu masalah yang hukum pokoknya mubah (boleh), maka hukumnya tetap mubah sampai dating dalil yang mnegharuskan meninggalkan hokum tersebut.

6) ‘Urf
yaitu berlakunya adat / kebiasaan seseorang atau sekelompok orang / masyarakat baik dalam kata-kata maupun perbuatan yang bisa menjadi dasar hukum dalam menetapkan suatu hukum, misalnya : kebiasaan jual beli dengan serah terima barang dengan uang tanpa harus memerincikan dalam kata-kata secara detail, peringatan mauled Nabi dsb.

7) Madhab Shahabi
yaitu fatwa sahabat secara perorangan, kesepakatan seluruh sahabat atau sahabat lainya (ijma’ sahabat), contoh Ijtihad sahabat Umar secara pribadi/perorangan.

8) Syar’u man qablana
yaitu berlakunya hukum-hukum syari’at pada umat yang telah diajarkan oleh para Nabi dan Rasul Allah terdahulu sebelum adanya syari’at nabi Muhammad SAW. Contoh ; berlakunya syari’at Nabi Dawud, Nabi Musa dan Nabi-Nabi lainnya yang disebutkan dalam Al Qur’an.

9) Saddu az Zara’iyah
yaitu menutup jalan yang menuju kepada kesesatan atau perbuatan terlarang. Contoh : berjudi haram, maka mempelajari cara-cara agar mahir dalam berjudi juga dilarang, berzina itu dosa besar dan jelas dilarang, maka melakukan hal-hal yang bisa mengarah kepada perzinaan juga dilarang (haram).


4. HUKUM TAKLIFI

A. Pengertian Hukum Taklifi
Hukum taklifi ialah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu pekerjaan oleh mukallaf (orang dewasa dan berakal sehat), atau melarang mengerjakannya, atau melakukan pilihan antara melakukan dan meninggalkannya. Para ulama ilmu fiqh membedakan hukum taklifi ke dalam lima macam, yaitu Wajib, Haram, Sunat, Makruh dan Mubah.

Untuk dapat membedakan kelima hukum taklifi tersebut, para ulama telah menjelaskannya sebagai berikut :

1) Wajib (Al Ijab)
Menurut bahasa, wajib berarti harus. Menurut istilah ilmu fiqh, wajib ialah suatu perbuatan yang apabila dilaksanakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan mendapat dosa.

2) Haram (At Tahrim)
Menurut bahasa berarti larangan. Menurut istilah, haram ialah suatu perbuatan yang apabila dilaksanakan mendapat dosa dan apabila ditinggalkan mendapat pahala. Setiap orang yang beriman wajib meninggalkan hal-hal yang diharamkan, agar tidak mendapat dosa dari apa yang dilakukannya. Allah swt. Mengharamkan sesuatu, karena sesuatu tersebut mengandung bahaya, kerusakan, bencana, bahkan kehancuran bagi dirinya maupun orang lain.

3) Sunat (An Nadbu)
Menurut bahasa, sunat berarti kebiasaan. Menurut istilah ilmu fiqh, sunat ialah perbuatan yang apabila dilaksanakan mendapat pahala, dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa. Allah menyariatkan hal-hal yang bersifat sunat ini untuk menambah amal baik kita kepada Allah swt., dan juga untuk menyempurnakan ibadah-ibadah kita yang kurang sempurna.

4) Mubah (Al Ibaahah)
Menurut bahasa, mubah berarti boleh. Menurut istilah, mubah yaitu suatu perbuatan yang apabila dilaksanakan atau ditinggalkan tidak memperoleh dosa atau pahala.

5) Makruh (al Karaahah)
Menurut bahasa, makruh berarti tidak disenangi. Menurut istilah, makruh ialah suatu perbuatan yang apabila dilaksanakan tidak mendapat dosa dan apabila ditinggalkan memperoleh pahala.

B. Kedudukan Hukum Taklifi
Kedudukan hukum taklifi sangat penting sebagai pokok dalam kerangka penegakan hukum Islam, sesuai dengan tuntutan nash. Sebab, setiap perbuatan seorang mukallaf dalam pandangan Islam mengandung konsekuensi mendatangkan pahala atau dosa tergantung kepada hukum perbuatan tersebut, apakah melaksanakan perintah, melanggar aturan atau memilih anjuran si pembuat hukum, Allah swt.

C. Mempraktikan Contoh-contoh Perilaku yang Sesuai dengan Hukum Taklifi

Untuk dapat membiasakan menerapkan hukum taklifi, hendaknya kamu perhatikan terlebih dahulu beberapa hal sebagai berikut :
1) Tanamkan iman yang kuat dalam hati sanubari, sehingga tidak mudah terbawa arus sesat dalam pergaulan.
2) Tanamkan keyakinan bahwa tugas utama manusia di muka bumi ini adalah beribadah kepada Allah swt., berbuat baik sesama, dan senantiasa taat kepada hukum-hukum Allah swt.
3) Tanamkan keyakinan bahwa hukum taklifi adalah hukum Allah swt. Yang harus dijalankan oleh setiap umat muslim yang beriman, agar dalam menjalani kehidupannya selalu dalam kedamaian dan kebahagiaan.
4) Pahami dengan benar pengertian dan kaidah-kaidah hukum taklifi,agar kita tidak keliru atau salah mengamalkannya.
5) Niatkan ibadah karena Allah, agar dalam menerapkan hukum taklifi kita tidak keliru atau salah mengamalkannya.
6) Mulailah menerapkan hukum taklifi sekarang juga,dari yang paling rendah dan mudah, misalnya menjalankan hukum yang wajib seperti shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan dan sebagainya. Baru setelah terbiasa, tingganlkan yang haram dan laksanakan anjuran atau sunnah.


5. PENGERTIAN DAN HIKMAH IBADAH, SHALAT DAN PUASA

A. Pengertian Ibadah
Ibadah berasal dari kata dasar :”Abada, Ya’budu-‘Ibadan-Wa’ibaadatan” artinya menyembah, mengabdi, dan menghambakan diri. Menurut istilah, ibadah ialah melakukan suatu pekerjaan tertentu yang sesuai dengan ajaran agama dan tidak mengharapkan suatu imbalan apapun selain mengharap ridha Allah swt.

B. Pembagian Ibadah dari segi tata cara dan bentuknya
1) Ibadah murni/ritual/khusus
2) Ibadah umum/luas/mu’amalah
3) Pengertian Shalat
Shalat adalah ibadah yang terdiri atas ucapan dan perbuatan-perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu.
4) Pengertian Puasa
Puasa adalah salah satu bentuk ibadah dalam Islam yang berarti menahan diri dari segala perbuatan yang membatalkan yang dilakukan oleh mukallaf pada siang hari, sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.
5) Hikmah Ibadah
- Memahami bahwa dirinya adalah makhluk Allah swt. Yang mempunyai kewajiban untuk beribadah, menyembah, mengabdi dan menyerahkan diri kepada-Nya.
- Menyadari bahwa ia akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di akhirat.
- Memahami bahwa semua tujuan akhir semua aktivitasnya adalah pengabdiannya kepada Allah swt.
- Memahami bahwa dirinya adalah pusat ala mini dan kehidupannya tidak hanya menjadi pelengkap.
6) Hikmah shalat
- Mendatangkan ketentraman dan ketenangan jiwa.
- Dilapangkan rizkinya dalam kehidupan.
- Terhindar dari penyakit hati dan kotoran jiwa.
- Terhapus dosa-dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil kecuali dosa syirik.
- Terhindar dari perbuatan keji dan mungkar.
7) Hikmah puasa
- Meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt. Bagi orang yang menjalankannya.
- Mengendalikan hawa nafsu, khususnya nafsu syetaniyah yang dapat menjerumuskan manusia ke jurang kebinasaan.
- Membiasakan orang yang berpuasa bersabar dan tabah menghadapi berbagai kesukaran dan ujian.
- Mendidik jiwa agar senantiasa amanah, sebab puasa pada hakikatnya melaksanakan amanah tidak makan dan minum.
- Melatih kedisiplinan yang tinggi, sebab dalam puasa terdapat disiplin tidak makan dan minum pada waktu yang telah ditentukan.
- Meningkatkan kesehatan, sebab dalam tenggang waktu satu tahun organ pencerna kita diberi istirahat beberapa hari ketika melaksanakan ibadah puasa wajib maupun sunat.

Semoga bermanfaat ...

Pada malam hari dalam suatu perjalanan yang panjang, seorang Pencari-Kebenaran resah dalam mencari Tuhan. Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang lalu dia berkata: “Inilah Tuhanku“, tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam“. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku.” Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat.” Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar.” Maka tatkala matahari itu terbenam, dia sadar lagi bahwa Tuhan harusnya tidak demikian. Cerita indah tersebut seperti diabadikan dalam Al-Quran (Al-An’am: 75-78), dan Pencari Kebenaran tersebut adalah yang mulia Nabi Ibrahim as. dalam perjalanan hijrahnya ke Palestina.

Semua itu memberikan pelajaran bahwa dalam menemukan Tuhan bisa jadi melewati proses yang panjang, namun akal sehat haruslah tetap menjadi panduan. Karena secara rasional Tuhan haruslah berkuasa mutlak, tidak tergantung pada apapun.

Akal adalah modal Awal
Tuhan melengkapi manusia dengan akal, dibandingkan dengan mahkluk lain akal manusia adalah yang paling sempurna. Tentunya dengan akal tersebut manusia mampu berpikir untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah, bahkan yang lebih utama tujuan Tuhan memberi akal pada manusia adalah agar manusia bisa mengenal Tuhan yang menciptakannya. Akal adalah modal awal untuk menemukan Tuhan secara rasional.

Akal manusia memang terbatas, namun bukan berarti dengan keterbatasan itu menjadikan kita buta untuk menemukan Tuhan secara rasional. Ada pendapat yang mengatakan bahwa manusia tidak mungkin bisa menemukan Tuhan dengan akalnya karena ilmu mengenai Tuhan itu sangat rumit, abstrak dan di luar akal manusia, ini adalah pendapat yang tidak benar, karena yang perlu kita fikirkan bukanlah mengenai Dzat Tuhan tetapi hanya untuk mengenal bagaimana sifat-sifat Tuhan yang seharusnya ada, untuk memilah mana Tuhan sejati diantara tuhan-tuhan yang lain..

Percaya bahwa Tuhan itu ada dan mengenal sifat-sifatnya tidak bisa hanya diterima secara dogmatis begitu saja, namun harus dikritisi secara rasional, karena Tuhan melengkapi manusia dengan akal yang cukup.

Untuk menghindari kerancuan logika dalam berfikir kita harus bisa membedakan tiga kondisi logis berikut:

Rasional – Jika fenomena tersebut dengan mudah dapat diterima akal sehat, sesuatu yang memang masuk akal.
Irasional – Jika suatu fenomena yang dengan akal sehat menunjukkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi, dengan kata lain adalah sesuatu yang jelas tidak masuk akal atau mustahil.
Out of Rasio – Jika suatu fenomena tidak dapat di terangkan secara rasional karena keterbatasan pikiran kita, sesuatu yang tidak pernah dialami manusia, tidak bisa dipikirkan, bahkan tidak mampu untuk dibayangkan. Salah satu contoh Out of Rasio adalah kondisi atau keadaan ‘diluar’ Ruang-Waktu.

Kesalahan yang sering terjadi saat berfikir dalam menemukan Tuhan adalah menganggap fenomena yang sebenarnya jelas-jelas irasional namun dipaksakan sebagai Out of Rasio atau dengan dalih dogma atau itu sudah terberikan (given) sehingga tidak perlu dikritisi.

Berikut adalah beberapa sifat-sifat Tuhan yang wajib ada, tanpa sifat-sifat yang wajib ini adalah tidak layak jika tuhan tersebut kita puja sebagai Tuhan.

1. Tuhan itu Ada
Adanya Jagat Raya ini, beserta Ruang-Waktu yang melingkupinya tidaklah mungkin ada dengan sendirinya tanpa Grand Design yang detail dan akurat. Bahkan seperti telah dibahas panjang lebar pada posting sebelumnya, bahwa tidak mungkin peristiwa Big-bang dan terjadinya beberapa tetapan Alam yang akurat dan harmonis seperti sekarang ini tanpa campur tangan kekuatan supernatural dengan inteligensi yang sangat sangat tinggi.
Berkaitan dengan terciptanya Jagat Raya yang akurat dan harmonis ini, seorang profesor astronomi Amerika, George Greenstein menulis dalam bukunya The Symbiotic Universe: “Ketika kita mengkaji semua bukti yang ada, pemikiran yang senantiasa muncul adalah bahwa kekuatan supernatural pasti terlibat.”

“Yang bersifat demikian ialah Allah, Tuhan kamu yang mencipta tiap-tiap sesuatu dari tiada menjadi ada; tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan daripada menyembah Nya?” (QS: Ghafir, Ayat: 62)

Tuhan tidak ada yang menjadikan-Nya dan tidak pula Tuhan menjadikan diri-Nya sendiri. Adanya Tuhan tidak diduhului dengan tiada dan tidak diakhiiri dengan tiada pula. Eksistensi Tuhan adalah mutlak, tidak dibatasi Ruang-Waktu, juga tidak dibatasi dimensi-dimensi yang lain jika ada.

2. Tuhan yang Awal dan Yang Akhir
Jagat Raya kita mempunyai usia sekitar 15 miliar tahun, setua Ruang-Waktu yang melingkupinya dan akan berakhir dalam waktu dekat atau beberapa miliar tahun kedepan. Sain modern telah mengkonfirmasikan hal ini. Artinya Jagat Raya kita ini adalah fana, demikian juga Ruang-Waktu. Tuhan sebagai Pencipta Jagat Raya haruslah abadi. Bahkan secara rasional Dia haruslah ada sebelum semuanya ada dan akan tetap ada setelah semuanya berakhir. Hal ini dimungkinkan jika eksistensi Tuhan tidak didalam Ruang-Waktu, karena Ruang-Waktu hanyalah media yang diperlukan oleh materi dan mahkluk-Nya yang lain untuk eksis. Tuhan bisa tetap eksis tanpa perlu Rang-Waktu.
Karena Tuhan diluar Ruang-Waktu maka baginya adalah sama saja mengenai yang dulu, yang sekarang atau yang akan datang, yang disana, yang disini, yang jauh atau yang dekat semuanya telah diketahui Nya, dan semua dalam gengam kekuasaan Nya, Subhanallah.

“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS: Al-Hadiid, Ayat: 3)

3. Tuhan yang Kekal Abadi
EternalClockSegala sesuatu yang eksis didalam Rang-Waktu, akan berlaku sifat Waktu seperti Sebelum, Sesudah, Lama atau Baru, dan akhirnya akan binasa dan lenyap, karena Ruang-Waktu sendiri nantinya juga akan lenyap, Sedangkan Tuhan yang eksistensinya tidak didalam Ruang-Waktu, secara rasional tidak akan berlaku hukum Waktu karenaya Tuhan akan abadi.

“Segala sesuatu akan binasa (lenyap) kecuali Dzat-nya.” (QS. Qoshos, Ayat:88)

Dengan ini secara rasional bisa dipahami bahwa segala sesuatu yang diaggap tuhan oleh manusia namun eksistensinya di Bumi, di langit, atau dimanapun di sudut Jagat Raya ini maka pasti akan binasa. Adalah irasional jika tuhan-tuhan tersebut bisa abadi, karena tuhan-tuhan tersebut pasti akan mati paling lama akan mati bersamaan dengan hancurnya Jagat Raya atau runtuhnya Ruang-Waktu, sehingga akan menjadi kebodohan jika kita bersikukuh tetap menyebut mereka sebagai Tuhan. Tuhan harusnya abadi, tidak pernah tidur, dan tidak akan mati ..

4. Tuhan yang tidak sama dengan ciptaan Nya
Secara rasional tentu pencipta berbeda dengan semua ciptaan Nya, berbeda dalam hal Dzat Nya, berbeda sifat-sifat Nya dan juga berbeda dalam perbuatan. Kita dan Jagat Raya ini adalah fana, terkungkung dalam media Ruang-Waktu, dibatasi dengan hukum-hukum Alam yang berlaku.

Tuhan adalah sang Pencipta, eksistensi Tuhan tidak memerlukan Ruang dan tidak didalam Waktu, bersifat Mutlak, tidak dibatasi apapun, tentu wujud Nya tidak bisa kita fikirkan, atau kita bayangkan, Out of Rasio.

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura, Ayat:11)

5. Tuhan yang Independent 
Tuhan harusnya mandiri bebas dapat melakukan apapun, tidak tergantung atau berkepentingan pada apapun yang lain, sebaliknya kalau dia masih tergantung pada sesuatu yang lain berarti tuhan mempunyai kelemahan.

“Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak berkepentingan apa-apa pun) pada sekalian alam.” (QS. al Ankabut, Ayat:6)

Kekuasaan Tuhan juga tidak akan bertambah atau berkurang karena perbuatan mahkluk ciptaan Nya. Misalnya jika semua manusia dibumi ini tidak ada yang patuh pada Tuhan, maka kekuasaan Tuhan tidak akan berkurang sedikitpun, begitupula sebaliknya.

6. Tuhan yang Esa
Kalau kita perhatikan kertalaan Jagat Raya yang harmonis ini, Tetapan-tetapan fisika yang sangat akurat, kekuatan Gaya-gaya fundamental alam yang seimbang, semua mengarah pada satu Grand Design yang canggih, satu rencana yang sangat-sangat matang. Maka tampaklah bahwa semua itu berasal dari satu sumber yang sama, yaitu satu pencipta supernatural yang sempurna, Dia adalah Allah, Tuhan sekalian alam.

“Dan Tuhan kamu ialah Tuhan yang Esa, tiada tuhan selain Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih”. (QS al Baqarah, Ayat: 163)

Seadainya tuhan itu ada dua, maka ada kalanya mereka bekerjasama dan adakalanya mereka tidak bekerjasama. Jika bekerjasama, maka tampaklah sifat lemah pada kedua tuhan tersebut karena mereka perlu untuk saling tolong menolong dalam mengerjakan sesuatu, juga tolong menolong menunjukkan jika tuhan-tuhan tersebut tidak ada yang berkuasa mutlak. Sebaliknya jika mereka tidak bekerjasama, tentu Jagat Raya ini akan kacau balau, karena banyak tetapan-tetapan Alam yang tidak sinkron, hukum-hukum alam yang saling bertentangan, maka kacaulah Jagat Raya.

“Seandainya di langit dan dibumi ada tuhan-tuhan selain Allah, niscaya langit dan bumi akan rusak.”. (QS. Al Anbiya, Ayat:22)

7. Tuhan yang berkuasa Mutlak
Tuhan harus mempunyai kekuasaan yang mutlak dan tak terbatas, baik kekuasaan di Jagat Raya ini maupun kekuasan di ‘luar’ Ruang-Waktu. tidak ada sesuatupun yang lebih berkuasa diatas Dia, karena jika ada sesuatu yang lebih berkuasa diatas Nya, secara rasional tentu sesuatu itulah yang lebih pantas disebut Tuhan.

Berkuasa mutlak juga berarti tidak ada sesuatupun yang dapat membatasinya. Dimensi Ruang-Waktu adalah salah satu batas buat Materi di Jagat Raya ini, tidak ada Materi yang bisa lolos dari Ruang-Waktu. Jadi secara rasional eksistensi Tuhan haruslah diluar Ruang-Waktu

“Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.”. (QS. Al-Baqarah, Ayat:20)

Adalah suatu hal yang irasional jika ada yang berpendapat bahwa tuhan dapat hadir di Jagat Raya ini sebagai manusia atau apapun wujudnya, bahkan Jagat Raya yang diameternya sekitar 30 miliar tahun perjalanan cahaya inipun tidak akan mampu untuk menghadirkan Tuhan yang tak terbatas..

Demikianlah beberapa sifat-sifat Wajib Tuhan yang utama, sifat yang satu secara logis diperkuat dan disempurnakan dengan sifat Wajib yang lain. Dengan mengetahui sifat-sifat Wajib Tuhan secara logis seperti diatas, diharapkan kita bisa menentukan dan memilah mana tuhan-tuhan yang irasional dan mana Tuhan yang rasional.

Kalau di telaah lebih dalam, sebenarnya masih banyak sifat-sifat wajib Tuhan yang lain namun demikian dengan sifat-sifat Tuhan yang diuraikan di atas telah cukup kiranya digunakan sebagai penuntun untuk menemukan Tuhan yang hakiki, yang kita wajib tunduk, beribadah, dan mengabdikan hidup dan mati kita kepada Nya..

Wallahu a'lam bishowab

Sumber: Ardian Abu Hanifah

Pada suatu saat saya berkesempatan berdiskusi dengan seorang atheis, bukan agnostik. Dia menanyakan rasionalisasi peristiwa Isra' Mi'raj. Menganggapnya sebagai peristiwa yang tidak mungkin, tidak masuk akal. Meminta untuk menunjukkan secara ilmiah disertai dengan pembuktiannya.

Lalu saya memberikan soal matematika yang terlihat sederhana untuk dia selesaikan, sebagai berikut:
Jika p salah satu akar dari persamaan x²- 2x + 3 = 0, berapa nilai dari p³ - p = ...

Dia menanyakan apa hubungannya peristiwa Isra' Mi'raj dengan soal matematika tersebut. Saya katakan, "Selesaikan saja.". Lalu dia mencoba menyelesaikan soalnya.

Selang beberapa jam, dia bilang soalnya tidak bisa diselesaikan. Dia bertanya: "Akarnya kan ada 2, yang anda maksud p³  - p untuk akar yang mana?"

"Selesaikan menurut perhitungan anda. Terserah anda", jawab saya.

Beberapa jam kemudian dia kembali dengan mengatakan:
"Soalnya sulit untuk diselesaikan bahkan menurut saya tidak mungkin bisa diselesaikan karena di samping akarnya imajiner, hasilnya pasti ada dua karena x₁ dan x₂ berbeda".

"Sepertinya anda salah memberikan soal. Persamaan kuadrat yang anda maksud mungkin x² - 2x - 3 = 0, bukan x² - 2x + 3 = 0", dia mulai menyalahkan soalnya.

Saya bilang, "Soalnya sudah benar". Lalu saya berikan waktu sehari untuk menyelesaikan soal tersebut ke dia, dan dia menanggapi nya.

Esok harinya dia kembali menghubungi dan mengatakan masih belum bisa menyelesaikan soal tersebut. Bahkan dia semakin yakin bahwa soalnya salah sehingga tidak didapatkan jawaban nya. Sebab sudah berlembar-lembar kertas coretan dia habiskan untuk menyelesaikan soal tersebut.

Akhirnya saya berikan jawabannya yang hanya memuat 3 baris penyelesaian.

Setelah melihat penyelesaian jawabannya, dia berguman: "Iya ya, koq saya gak kepikiran seperti itu menyelesaikannya."

Sejenak kemudian dia bilang, "Oke mas, saya akui saya keliru. Anda benar. Bukan soalnya yang salah tapi saya belum menemukan cara menyelesaikannya dengan benar."

"Lalu apa hubungannya dengan pertanyaan saya kemarin terkait peristiwa Isra' Mi'raj?", tanya dia selanjutnya.

"Seperti halnya saya sudah yakin bisa menyelesaikan soal matematika tersebut karena sudah memahami ilmu nya, maka untuk memahami kebenaran peristiwa Isra' Mi'raj, anda mesti paham ilmu nya terlebih dahulu. Anda 'belum nyampe' ilmu Isra' Mi'raj nya sehingga anda berkesimpulan peristiwa tersebut tidak masuk akal, bahkan tidak mungkin terjadi", jelas saya.

Kemudian saya lanjutkan penjelasannya, "Seperti halnya penjelasan ilmiah bagaimana cara Rakib dan Atid mencatat amalan kita, sebenarnya bisa saja saya menjelaskan secara ilmiah pula menggunakan ilmu fisika kuantum dan pendekatan sains lainnya atas peristiwa Isra' Mi'raj tersebut. Namun tanpa KEYAKINAN dari anda bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi, maka anda akan cenderung menyanggah bahkan menolak lebih awal penjelasannya".

"Jika anda ingin membuktikan kebenarannya, maka anda harus yakin terlebih dahulu bahwa kebenaran itu ada. Seorang Nikola Tesla mampu menemukan Wireless Electricity setelah Tesla begitu yakin bahwa listrik bisa dialirkan tanpa kabel meski Tesla harus mengalami berkali-kali kegagalan eksperimen tersebut," lanjut saya.

"Keyakinan tak mesti mencegah kebebasan pada kita untuk berpikir, menggunakan potensi akal yang luar biasa. Namun keyakinan seharusnya justru membawa kita pada suasana akal yang mudah dibawa menuju nilai-nilai kebenaran dengan metode yang benar pula. Keyakinan akan membawa kita pada cara berpikir yang teratur, sistematis dan ilmiah. Bukankah dalam sains juga hipotesis yang dulu dianggap sebagai sebuah kemustahilan pada waktu kemudian menjadi sebuah kenyataan?" saya menutup penjelasan.

Setelah mendapatkan penjelasan, dia akhirnya bisa menyadari pola pikirnya yang selama ini keliru. Sebab selama ini dia menganggap keyakinan justru menghambat kebebasan berpikir.

Dia malah meminta kepada saya untuk tidak perlu lagi menjelaskan secara ilmiah tentang peristiwa Isra' Mi'raj tersebut. Dia ingin membuktikan nya sendiri. Tentunya dengan KEYAKINAN BARU.

“Allah akan mengangkat kedudukan orang-orang yang beriman dan diberikan ilmu di antara kalian beberapa derajat. Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al Mujadilah [58]: 11)

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Aali ‘Imraan [3]: 190-191).

[Seperti yang diceritakan oleh Nukes]

Obyektifitas dapat terukur dari ketidakenakan dan keengganan kita mengkritisi diri sendiri dan orang-orang yang secara emosional dekat dengan kita.

Jika ketidakobyektifan ini menjadi kebiasaan dan diwajarkan, maka kecenderungan untuk berlaku adil semakin memudar.

Perilaku adil yang dilandasi persatuan dan kemauan yang tinggi pada nilai-nilai musyawarah menjadi gerbang utama mencapai kemakmuran.

Memahami konsep keadilan pada manusia diawali dari pemahaman yang mendalam pada nilai-nilai keadilan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Tuhan pula yang mengajarkan manusia untuk tidak berpecah belah walau dalam suasana perbedaan dengan cara mengedepankan musyawarah.

Jika ketidakadilan berlaku pada sebuah bangsa, maka kreatifitas hampir dipastikan akan terbunuh. Dan jika kemakmuran mensyaratkan kreatifitas, maka kemakmuran tidak akan terwujud tanpa keadilan.

Sehingga dapat disimpulkan sementara bahwa ketidakobyektifan berfikir sangat dipengaruhi oleh suasana hati. Ketidakobyektifan ini mengakibatkan ketidakadilan kemudian menyebabkan terjadinya perpecahan dan pemaksaan kehendak yang berujung pada kehancuran dan ketidakmamuran.

Mungkin para pendiri negeri ini sudah amat memahami konsep ini sehingga Pancasila memberikan 5 dasar yang dimulai dengan sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" kemudian diikuti dengan "Kemanusiaan yang adil dan beradab", "Persatuan Indonesia", "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan", dan diakhiri dengan "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".

Para pendiri bangsa Yang dominan muslim amat memahami bahwa perilaku mentauhidkan Tuhan, perilaku adil, persatuan, dan musyawarah untuk mewujudkan kemakmuran adalah esensi dari ajaran Islam dalam konteks hubungan kemanusiaan.

Apakah nilai-nilai ini masih ada pada diri kita semua?

Sebelum berbagi pemahaman kepada yang lain, yuk memulai target kemakmuran dengan mengawalinya dari perilaku obyektif pada diri sendiri dan orang tercinta sekitar kita.

Berdamailah pada diri sendiri atas segala kekeliruan yang telah dan selalu diingatkan oleh hati nurani.

Untuk dapat menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial harus mengutamakan musyawarah. Untuk terbiasa musyawarah harus tercipta persatuan. Untuk bisa bersatu harus memiliki sikap adil dan beradab. Dan pada akhirnya sikap adil dan beradab akan terwujud jika kita berketuhanan kepada Yang Esa dengan menjalankan ajaran agama dengan benar.

Wallahu a'lam...

Sependek ingatan saya, pada tahun 90-an dulu frasa gamis syar’i belum ada. Gamis ya syar’i lah. Apalagi? Frasa gamis syar’i waktu itu mungkin setara dengan frasa jomblo ngenes sekarang. Jomblo ya sudah tentu ngenes. Mau bagaimana lagi? Jadi, kata ‘syar’i’ itu inheren dalam kata gamis, seperti halnya kata ‘ngenes’ dalam jomblo. Semacam oksimoron.

Pada tahun 90-an itu, jilbab dan gamis itu pasti panjang, tebal, warna kalem atau gelap, longgar dengan model sederhana. Itu-itu saja. Rasanya ada aura ruhiyah tertentu saat mengenakannya. Rasanya lho, ya. Namun, belakangan ini perasaaan itu lebih mirip seperti ilusi saja.

Masa itu jilbab dan gamis adalah ekspresi dari ketundukan dalam hati pada titah Sang Pencipta. Simbol lahiriah dari esensi batiniah. Mengenakannya adalah ibadah, menetapi perintah menutup aurat. Tak lain tak bukan, tak lebih tak kurang. Hingga kemudian, sampailah kini kita di zaman yang sedemikian rupa berbeda.

Inilah zaman di mana mengenakan jilbab dan gamis tak jauh berbeda seperti soal memilih menu makanan. Mana yang disuka dimakan, mana yang bosan ditinggalkan. Tak ada bobot ruhiyah atau nuansa spiritualitas apapun di sana. Tak ada urusan hidayah di situ. Apa lagi getaran hati yang menggoncang-goncang jiwa ketika memutuskannya. Tak ada.

Pakai gamis tak lebih dari ganti koleksi isi lemari. Hal yang bisa dilakukan tanpa perlu menjemput hidayah datang. Hal yang sama yang akan dilakukan oleh para korban kebakaran dan banjir bandang, mengganti isi lemari. Yang pertama dilakukan penuh sukacita karena terpuaskan nafsu belanja, yang kedua dilakukan dengan terpaksa karena baju hangus dan hanyut di kali.

Hari gini, memakai gamis dan jilbab, juga bisa terjadi hanya karena tak enak pada tetangga dan teman sejawat. Peer pressure. Terpesona pada artis-artis dan model peraga busana muslim di sebuah fashion show. Ngiler pada manekin-manekin butik-butik nan mahal di mal-mal. Apa sajalah pemantik nafsu konsumtif. Tak ada pergumulan batin apapun di sana. Pergumulan isi dompet, iya. Urusannya seenteng ganti sepatu, tas, menu makanan bahkan pacar, karena bosan saja. Impulsif.

Tentu saja, tetaplah ada jilbaber dan gamis user yang melalui proses panjang dan mengharu biru ketika mengenakannya. Hal seperti itu selalu akan ada. Sebab hidayah tak pernah bosan menjemput orang-orang yang berhijrah di tiap zaman.

Tak seperti Hayati, hidayah tak pernah lelah, Bang.

Setelah potensi bisnis gamis syar’i terendus oleh kapitalis industri mode, situasi tak lagi sama. Segala sesuatu jika sudah tersentuh industrialisasi, biasanya memang bakal berganti dimensi. Film sebagai karya seni dan film sebagai industri, logikanya berbeda. Beternak ayam sebagai kegiatan pendukung kehidupan dan beternak sebagai industri, filosofinya berbeda. Menulis sebagai hobi dan menulis karena tuntutan industri, output-nya berbeda. Begitu juga gamis syar’i saat tercelup industri, auranya pun menjadi berbeda.

Yang tadinya bersimpel-simpel, jadi berimpel-rimpel. Yang tadinya tebal menutup bisa jadi tipis menerawang. Yang tadinya longgar semriwing jadi ketat membentuk. Pendeknya yang tadinya dimaksudkan untuk menutupi pesona, jadi menebar pesona.

Duhai ukhti, kemana gerangan engkau mengambil teladan?

Esensi gamis syar’i sebagai ekspresi penghambaan auranya itu kesunyian. Sedangkan konsekuensi gamis syar’i sebagai industri, auranya adalah kemeriahan dan tepuk tangan. Menjadi paradoks yang begitu banal jika kedua hal itu dikawinkan. Yang terjadi kemudian adalah kawin paksa dengan banyak KDRT di dalamnya.

Hedonisme sebagai suplier energi industri mode adalah sesuatu yang bersebrangan dengan nilai-nilai kesederhanaan sebagai salah satu esensi ajaran Islam paling sublim. Enggak nyambung di level substansi, tapi di level permukaan, bisa disulap jadi serasi. Ini dampak dahsyat ketika jargon bisnis akhirat telah tersemat. Logika dan nalar sehat dipersilakan beristirahat.

Mari kita lihat.

Ketika ingin mewarnai industri mode, muslimah diprovokasi untuk terbiasa berhias, tabarruj, menebar pesona demi layak dilihat publik mode. Tampak memalukan, norak, dan ndeso jika datang–apalagi berpartisipasi–dalam sebuah fashion show dengan muka polos, pucat dan berkilat-kilat karena muka berminyak kena cahaya lampu. Itu wajah apa wajan, sih, sebenarnya?

Riasan yang sudah susah payah ditempel-tempel ke wajah, bisa sayang dihapus waktu berwudlu. Ikhtilat, campur baur laki-laki dan perempuan yang wangi-wangi bukan muhrim dalam fashion show adalah hal biasa. Fashion show busana muslim sekalipun. Substansi ajaran Islam yang mengatur gaya hidup, diperkosa oleh misi kapitalis yang mempromosikan hidup gaya.

Inilah salah satu KDRT dalam perkawinan Islam dan kapitalis. Sebuah kekalahan telak yang malah ditepuktangani si pecundang dengan meriah.

Sebuah label besar bahkan menjadikan salah satu oknum terindikasi LGBT sebagai ikon dan desainernya. Dia tampil percaya diri dan advis-advis modenya diamini oleh para penganut keyakinan yang menentang keras orientasi seksual si idola. Para pemuja brand tertentu konon ada yang nangis-nangis karena kalah cepat rebutan koleksi limited yang diincarnya. Ieu teh kumaha, Iteung?

Bagi industri mode sendiri, istilah gamis gaul dan gamis syar’i tak ada beda substansi. Masalahnya hanya perbedaan lini dan segmentasi. Keduanya sama-sama pengumpul pundi-pundi. Satu pabrikan bisa membuat beberapa label untuk masing-masing lini, dan semua laris manis diserap pasar nan hedonis dan gigantis. Urusan menginventarisasi nama-nama label dan share pasarnya, serahkan saja pada Kalis Mardiasih.

Tapi tentu saja, selalu ada pengecualian atas segala sesuatu. Tetap ada para pengusaha gamis dan busana muslim yang rela menempuh jalan sunyi memproduksi perlengkapan muslim tanpa memprovokasi orang untuk berlebihan berkonsumsi. Saya sangat percaya itu dan respek sepenuh hati pada mereka ini. Semoga bisnisnya senantiasa diberkahi. Aamin.

Akhirul kalam wahai para keponakan, dengarkan Tante Gober bersabda :

Jika gamismu lebaran nanti adalah gamismu sepuluh tahun lalu, hidupmu akan baik-baik saja. Lebaran akan tetap jatuh pada 1 Syawal dan takbirnya tetap Allahu Akbar. Sadarlah, tak ada tim hisab dan rukyat ormas manapun yang memperhitungkan keberadaan gamis barumu sebagai dasar pengambilan keputusan.

Tak ada yang berani mengganti bunyi takbir jadi Innalillahi hanya karena kau tak punya gamis OSD pujaan para ukhti.


Ditulis oleh: Siti Maryamah
Sumber Tulisan

Anakku yang mulia, yang aku sayangi, yang aku cintai, cucu-cucuku. Aku akan menceritakan sebuah kisah.
Tuhan menciptakan manusia dengan cara yang indah. Lalu Tuhan bertanya kepadanya, “Apa yang kamu inginkan?”
Manusia menjawab, “Aku menginginkan hidup yang tenteram. Aku ingin menyembahmu, Oh Tuhan. Aku ingin beribadah kepadaMu. Lalu aku akan mendapatkan ketenangan hati. Inilah yang aku inginkan. Aku mohon engkau memberikannya kepadaku!”
“Baiklah”, kata Tuhan. “Apa yang kamu ingingkan?”
“Aku ingin menjadi raja. Setelah itu aku bisa beribadah kepadaMu dengan tenang.”
“Baiklah, kamu bisa menjadi raja.”

Setelah beberapa waktu Tuhan bertanya, “Bagaimana kabarmu ? Apakah kamu sudah merasa tenang sekarang?”
“Tidak, aku tidak merasakan ketenangan,” keluh manusia. “Oh Tuhan, aku membutuhkan kekayaan. Agar hidupku menjadi tenang.”

Lalu Tuhan memberikannya segala kekayaan dunia kepadanya, dan setelah beberapa waktu Dia bertanya, “Apakah kamu tenang sekarang?”
“Tidak, Oh Tuhan, aku tidak tenang.”
“Apa yang kamu inginkan?”
“Aku ingin hidup dengan wanita yang cantik. Setelah itu baru hatiku tenang.”
Lalu Tuhan memberikannya seorang wanita yang kecantikannya bagaikan rembulan yang indah.

Lalu setelah beberapa waktu Tuhan bertanya, “Apakah kamu tenang sekarang?”
“Tidak, Oh Tuhan, aku tidak tenang. Aku menginginkan sebuah istana yang terlihat seperti surga. Setelah itu aku baru tenang.”
“Baiklah, kata Tuhan, lalu Tuhan memberikan istana yang keindahannya seperti surga. Setelah beberapa waktu Tuhan bertanya, “Apakah kamu tenang? Apakah kamu sudah merasa tenang sekarang?”
“Oh Tuhan, andaikata Engkau memberikanku sebuah taman bunga yang bagus, setelah itu aku baru dapat hidup dengan tenang. Aku membutuhkan sebuah taman yang indah seperti surga.”

Lalu Tuhan memberikannya sebuah taman bunga yang indah, dan setelah beberapa saat Dia bertanya, “Apakah kamu tenang sekarang?”
“Tidak, aku tidak tenang,” keluh manusia. “Disini banyak lebah dan serangga yang menggigitku dan menyengatku, dan bau dari tempat ini membuatku alergi dan sakit kepala. Aku tidak mendapatkan ketenangan apapun.”
“Kamu tidak tenang sekarang?”
“Tidak, Tuhan. Aku menginginkan angin sepoi-sepoi yang menyegarkan. Jika aku mendapatkan angin yang wangi dan menyegarkan, baru aku bisa hidup dengan tenang.”

“Baiklah”, kata Tuhan, dan Dia memberikan beberapa wewangian, angin yang segar. Setelah beberapa waktu Tuhan bertanya, “Apakah kamu tenang sekarang?”
“Oh Tuhan, aku tidak tenang, walaupun angin itu menyegarkanku, aku tidak tenang.”
“Jadi, apa yang kamu inginkan?”
“Oh Tuhan, berikan aku keturunan. Aku akan hidup tenang jika aku mempunyai keturunan.”

“Baiklah, Aku berikan engkau keturunan,” kata Tuhan. Setelah beberapa waktu Tuhan bertanya, “Apakah kamu tenang sekarang?
“Tidak, aku tidak tenang.”
“Lalu apa yang kamu inginkan?” tanya Tuhan.
“Aku ingin menjadi seorang pemimpin dunia. Setelah itu aku baru merasa tenang.”

Tuhan menjadikannya seorang pemimpin dunia, dan setelah beberapa waktu Tuhan bertanya, “Apakah kamu tenang sekarang?”
“Oh Tuhan. Jika saja aku dapat melakukan suatu keajaiban, aku akan menemukan ketenangan. Aku rasa itu yang aku butuhkan.”

“Lakukanlah keajaiban. Kau dapat melakukan empat ratus trilliun sepuluh ribu keajaiban.Kau dapat melalukan apapun yang kau pikir bisa kau lakukan. Setelah beberapa waktu Tuhan bertanya, “Apakah kau tenang sekarang?”
‘Tidak, oh Tuhan. Ketenangan belum juga datang.”
“Lalu apa yang kamu ingingkan?”
“Andaikata aku dapat menjadi seorang yang bijak, aku akan mendapatkan ketenangan. Lalu aku dapat memberikan ketenangan kepada setiap orang.”


Lalu Tuhan merubahnya menjadi seorang yang bijak, setelah beberapa waktu Tuhan bertanya, “Apakah kamu tenang sekarang?”
”Tidak, aku tidak tenang.”
“Lalu apa yang kamu inginkan?”
“Jika saja aku dapat melakukan perjalanan dengan sebuah pesawat ke tempat yang jauh, jika saja aku dapat melihat seluruh negara-negara di dunia, aku akan mendapatkan ketenangan.”

“Baiklah,” kata Tuhan, dan Dia memberikannya sebuah pesawat. Setelah beberapa waktu, Tuhan bertanya, “Apakah kamu tenang sekarang?”
“Tidak, aku tidak merasakan ketenangan. Aku sendirian disini.”
“Lalu apa yang kamu inginkan?”
“Jika saja aku dapat konstan dalam berdoa, aku akan dapat mencapai ketenangan.”

“Baiklah, lalu berdoalah,” kata Tuhan, dan setelah beberapa waktu Tuhan bertanya, “Apakah kamu tenang sekarang?”
“Sebenarnya, aku tidak tenang. Aku duduk disini dan berdoa, tetapi aku tidak dapat konsentrasi. Pikiranku melayang-layang. Aku tidak tenang.”
“Jadi apa yang kamu inginkan? Ketenangan seperti apa yang kamu inginkan?
“Mungkin jika aku mempunyai lima atau enam wanita yang dapat melayaniku dan menghormatiku, lalu aku akan mendapatkan ketenangan.”

“Baiklah, engkau dapat memiliki selusin wanita. “Jadi Tuhan memberinya selusin wanita, dan setelah beberapa waktu Tuhan bertanya, “Apakah kamu tenang sekarang?”
“Tidak, ketenangan belum datang juga.”
“Apa yang kamu inginkan?”
“Aku menginginkan baju yang berlapiskan permata. Mungkin keindahan permata akan menghilangkan kesedihanku, dan Aku akan hidup bahagia penuh dengan ketenangan.”

Kemudian Tuhan memberikannya seluruh permata yang terbaik dari dunia, dan setelah beberapa waktu Tuhan bertanya, “Apakah kamu tenang sekarang?”
“Tidak. Kilauan cahaya permatanya terlalu terang dan menyakiti mataku. Aku tetap tidak tenang.”
“Lalu apa yang kamu inginkan?”
“Jika aku tidak lapar, aku dapat beribadah kepadaMu.”

“Baiklah,” kata Tuhan, lalu Tuhan mengambil kelaparan dari manusia. Setelah beberapa waktu Tuhan bertanya, “Apakah kamu tenang sekarang?”
“Tidak, Tuhan. Aku terlalu kurus. Aku tidak dapat melihat dengan baik, dan aku sulit ketika jalan.”
“Lalu apa yang kamu inginkan? Apa yang kamu inginkan?”
“Oh Tuhan, ratap manusia. “Aku tidak mengerti apapun. Kau memberiku begitu banyak, tapi aku tidak mengerti apapun. Aku tidak tahu mengapa aku tidak bahagia. Tolong jelaskan kepadaku kenapa aku tidak merasakan ketenangan hati.”
Lalu Tuhan menjelaskan, “Sebelum sifatKu datang kepadamu, kau tidak akan pernah merasakan ketenangan hati. Sebelum kearifanKu datang kepadamu, kau tidak akan pernah tenang. Tidak ada hal lain yang membuatmu tenang.

Anakku, Tuhan telah memberikan segala sesuatu yang diminta manusia. Dia memberikan dunia, Dia memberikan kekayaan, Dia memberikan segalanya, tetapi apakah manusia mendapatkan ketenangan? Tidak. Manusia telah hidup dengan jangka waktu yang lama, tetapi apakah ia telah mencapai ketenangan? Apakah ia mendapatkan ketenangan melalui keajaiban? Apakah ia mendapatkan ketenangan melalui doa? Apakah manusia akan tenang walaupun dia tidak akan pernah merasa kelaparan? Apakah harta bendanya membuatnya tenang? Apakah kekuasaan akan membuatnya tenang? Apakah ketenangan datang melalui wanita? Kenapa manusia tidak tenang? Kenapa memiliki semua hal ini tetap tidak dapat membuat manusia tenang?

Permata hatiku yang menyinari mataku, Kita tidak dapat mencapai ketenangan melalui semua hal tersebut. Tuhan memberikan segala sesuatu yang kita minta, Dia memberikan apa yang kita harapkan, Dia memberikan apapun yang kita inginkan. Tetapi hal-hal ini tidak pernah memberikan kita ketenangan, dan kita bahkan mulai menyalahkan Tuhan.
Kita harus memikirkan apa yang akan membuat kita tenang. Apakah permata dari ketenangan? Apa yang memberikan kita ketenangan? Jika kita memikirkannya dan mengerti, lalu kita akan menemukan kebahagiaan didalam hidup kita. Kita tidak dapat menemukannya melalui emas atau dunia atau wanita atau anak, melalui kekuasaan, melalui politik, melalui pesawat, melalui lautan, melalui matahari atau bulan. Kita tidak akan pernah mendapatkan ketenangan melalui hal tersebut.

Tuhan memberikan kita segalanya, permata hatiku yang menyinari mataku, tetapi apa yang membuat kita tenang? Apakah seorang raja memiliki ketenangan? Apakah seorang presiden memiliki ketenangan? Apakah orang-orang yang kaya memiliki ketenangan? Apakah para penguasa dunia memiliki ketenangan? Apakah para karyawan memiliki ketenangan?

Apalah para orang tua memiliki ketenangan? Apakah orang yang telah menikah memiliki ketenangan? Apakah orang yang mempunyai taman-taman yang indah memiliki ketenangan? Apakah orang yang mempunyai kolam renang memiliki ketenangan? Tidak. Kita tidak akan pernah menemukan ketenangan melalui hal tersebut. Kita akan di bodohi pada akhirnya, idiot. Kita hanya akan berakhir sebagai manusia yang bodoh.

Berpikirlah. Apakah ketenangan itu? Apa yang memberi kita ketenangan? Ketenangan hati adalah sifat-sifat Tuhan, bertindak sesuai Tuhan, bersikap sesuai petunjuk Tuhan, bertingkah laku baik sesuai petunjuk Tuhan, berbuat baik sesuai petunjuk Tuhan, bertindak atas dasar kebajikanNya Tuhan, cintaNya Tuhan, belas kasihNya Tuhan, keadilanNya Tuhan, kedamaianNya Tuhan, kesabaranNya Tuhan, ketabahanNya Tuhan, kesukaanNya Tuhan, percaya kepada Tuhan, memuji Tuhan, dan Ihklas dan Tawakal kepada Tuhan. Kearifan yang murni dan sifat-sifat ini akan memberikan manusia ketenangan. Tidak ada hal lainnya.

Oleh sebab itu, permata hatiku yang menyinari mataku, ketika kita mengerti maksud hal tersebut, kita akan mendapatkan ketenangan hati. Ketika kita telah membangun sifat ini didalam diri kita, kita akan tenang dan tenteram. Selain itu, kita tidak akan pernah tenang. Anakku yang aku sayangi. Kita harus memikirkan hal ini. Untuk menemukan kebebasan bagi jiwa kita, pertama kita harus mengetahui apa yang membuat kita tenang. Lalu kita akan mencapai tahap Kasih Sayang Tuhan, Surga, dan Kerajaan Tuhan. Kita dapat menjadi wakil (khalifa)Nya Tuhan, hidup dengan penuh kebebasan, tanpa kelahiran atau kematian. Tidak ada apapun yang dapat membuat kita tenang.

Setiap dari kita harus memikirkannya dari hati kita. Kita harus membuka hati kita, pikirkan tentang hal ini, dan amati dengan penuh kesadaran. Lalu kita akan mengetahui bahwa hanya keadaaan ini yang bisa memberikan kita ketenangan. Kita tidak dapat meraih ketenangan melalui hal apapun.

Anakku yang aku sayangi. Ini cukup untuk saat ini. Mari kita merenungkannya. Jika kita dapat mengerti hal ini, ini akan lebih dari cukup untuk keabadian. Hanya Tuhan lah yang kita butuhkan. Semoga Ia memberikan kita Kasih Sayang untuk membangun ketenangan didalam diri kita. Amin. Amin. Semoga Ketenangan akan Tuhan dan Rahmatnya tercurah kepada kita semua!

M. R. Bawa Muhaiyaddeen

Secara umum, Islam menyatakan seluruh kaum muslimin adalah bersaudara sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Azza wa Jalla surat al-Hujurât/49 ayat 10, yang artinya: Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara. Konsekwensi dari persaudaraan itu, maka Islam mewajibkan kepada umatnya untuk saling tolong-menolong dalam al-haq. Namun yang menjadi fokus pembicaraan kita kali ini bukan persaudaraan yang bersifat umum ini, tetapi persaudaraan yang bersifat khusus antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshâr. Persaudaraan antara kaum Muhajirîn dan kaum Anshâr yang deklarasikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki konsekwensi lebih khusus bila dibandingkan dengan persaudaraan yang bersifat umum.

Sebagaimana diketahui, saat kaum Muhajirin berhijrah ke Madinah tidak membawa seluruh harta. Sebagian besar harta mereka ditinggal di Makkah, padahal mereka akan menetap di Madinah. Ini jelas menjadi problem bagi mereka di tempat yang baru. Terlebih lagi, kondisi Madinah yang subur sangat berbeda dengan kondisi Makkah yang gersang. Keahlian mereka berdagang di Makkah berbeda dengan mayoritas penduduk Madinah yang bertani. Tak pelak, perbedaan kebiasaan ini menimbulkan permasalahan baru bagi kaum Muhajirin, baik menyangkut ekonomi, sosial kemasyarakatan, dan juga kesehatan[1]. Mereka harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Sementara itu, pada saat yang sama harus mencari penghidupan, padahal kaum Muhajirin tidak memiliki modal. Demikian problem yang dihadapi kaum Muhajirîn di daerah baru.

Melihat kondisi kaum Muhajirin, dengan landasan kekuatan persaudaraan, maka kaum Anshâr tak membiarkan saudaranya dalam kesusahan. Kaum Anshâr dengan pengorbanannya secara total dan sepenuh hati membantu mengentaskan kesusahan yang dihadapi kaum Muhajirin. Pengorbanan kaum Anshâr yang mengagumkan ini diabadikan di dalam Al-Qur`ân, surat al-Hasyr/59 ayat 9 :

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshâr) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).

Berkaitan dengan ayat di atas, terdapat sebuah kisah sangat masyhur yang melatarbelakangi turunnya ayat 9 surat al-Hasyr. Abu Hurairah Radhiyallahu anhumenceritakan:

أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَبَعَثَ إِلَى نِسَائِهِ فَقُلْنَ مَا مَعَنَا إِلَّا الْمَاءُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ مَنْ يَضُمُّ أَوْ يُضِيفُ هَذَا فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ أَنَا فَانْطَلَقَ بِهِ إِلَى امْرَأَتِهِ فَقَالَ أَكْرِمِي ضَيْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَقَالَتْ مَا عِنْدَنَا إِلَّا قُوتُ صِبْيَانِي فَقَالَ هَيِّئِي طَعَامَكِ وَأَصْبِحِي سِرَاجَكِ وَنَوِّمِي صِبْيَانَكِ إِذَا أَرَادُوا عَشَاءً فَهَيَّأَتْ طَعَامَهَا وَأَصْبَحَتْ سِرَاجَهَا وَنَوَّمَتْ صِبْيَانَهَا ثُمَّ قَامَتْ كَأَنَّهَا تُصْلِحُ سِرَاجَهَا فَأَطْفَأَتْهُ فَجَعَلَا يُرِيَانِهِ أَنَّهُمَا يَأْكُلَانِ فَبَاتَا طَاوِيَيْنِ فَلَمَّا أَصْبَحَ غَدَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَقَالَ ضَحِكَ اللَّهُ اللَّيْلَةَ أَوْ عَجِبَ مِنْ فَعَالِكُمَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمْ الْمُفْلِحُونَ

Ada seseorang yang mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam keadaan lapar), lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusan ke para istri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Para istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Kami tidak memiliki apapun kecuali air”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapakah di antara kalian yang ingin menjamu orang ini?” Salah seorang kaum Anshâr berseru: “Saya,” lalu orang Anshar ini membawa lelaki tadi ke rumah istrinya, (dan) ia berkata: “Muliakanlah tamu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam !” Istrinya menjawab: “Kami tidak memiliki apapun kecuali jatah makanan untuk anak-anak”. Orang Anshâr itu berkata: “Siapkanlah makananmu itu! Nyalakanlah lampu, dan tidurkanlah anak-anak kalau mereka minta makan malam!” Kemudian, wanita itu pun menyiapkan makanan, menyalakan lampu, dan menidurkan anak-anaknya. Dia lalu bangkit, seakan hendak memperbaiki lampu dan memadamkannya. Kedua suami-istri ini memperlihatkan seakan mereka sedang makan. Setelah itu mereka tidur dalam keadaan lapar. Keesokan harinya, sang suami datang menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Malam ini Allah tertawa atau ta’ajjub dengan perilaku kalian berdua. Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat-Nya, (yang artinya): dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung –Qs. al-Hasyr/59 ayat 9. [HR Bukhari]

Bagaimanapun pengorbanan dan keikhlasan kaum Anshâr membantu saudaranya, namun permasalahan kaum Muhajirin ini tetap harus mendapatkan penyelesaian, agar mereka tidak merasa sebagai benalu bagi kaum Anshâr. Disinilah tampak nyata pandangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang cerdas dan bijaksana. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshâr.

Peristiwa ini, sebagaimana disebutkan dalam banyak riwayat terjadi pada tahun pertama hijriyah. Tempat deklarasi persudaraan ini -sebagian ulama mengatakan- di rumah Anas bin Mâlik,[2] dan sebagian yang lain mengatakan di masjid.[3] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan mereka dua dua, satu dari Anshâr dan satu lagi dari Muhajirin.

Ibnu Sa’ad dengan sanad dari syaikhnya, al-Waqidi rahimahullah menyebutkan, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara sebagian kaum Muhajirin dengan sebagian lainnya, dan mempersaudarakan antara kaum Anshâr dengan kaum Muhajirin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan mereka dalam al-haq, agar saling menolong, saling mewarisi setelah (saudaranya) wafat. Saat deklarasi itu, jumlah mereka 90 orang, terdiri dari 45 kaum Anshâr dan 45 kaum Muhajirin. Ada juga yang mengatakan 100, masing-masing 50 orang.

Imam Bukhâri meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu, ketika kaum Muhajirin baru tiba di Madinah, kaum Muhajirin bisa mewarisi kaum Anshâr karena persaudaraan yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan dzawil-arhâm (kerabat yang bukan ahli waris) tidak.

Di antara contoh praktis buah dari persaudaraan yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu kisah ‘Abdurrahmân bin ‘Auf Radhiyallahu anhu dengan Sa’ad bin Rabi’ Radhiyallahu anhu . Sa’ad Radhiyallahu anhu berkata kepada ‘Abdurrahmân Radhiyallahu anhu : “Aku adalah kaum Anshâr yang paling banyak harta. Aku akan membagi hartaku setengah untukmu. Pilihlah di antara istriku yang kau inginkan, (dan) aku akan menceraikannya untukmu. Jika selesai masa ‘iddahnya, engkau bisa menikahinya”.

Mendengar pernyataan saudaranya itu, ‘Abdurrahmân Radhiyallahu anhu menjawab: “Aku tidak membutuhkan hal itu. Adakah pasar (di sekitar sini) tempat berjual-beli?”

Lalu Sa’ad Radhiyallahu anhu menunjukkan pasar Qainuqa’. Mulai saat itu, ‘Abdurrahmân Radhiyallahu anhu sering pergi ke pasar untuk berniaga, sampai akhirnya ia berkecukupan dan tidak memerlukan lagi bantuan dari saudaranya.[4]

Persaudaraan yang dijalin oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus berlanjut. Ketika kaum Muhajirin sudah merasa biasa, tidak asing lagi, dan sudah mengetahui cara mencari nafkah, maka Allah Azza wa Jalla menggugurkan syariat waris-mewarisi dengan sebab tali persaudaraan seperti ini, namun tetap melanggengkan persaudaraan kaum mukminin. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْ بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا مَعَكُمْ فَأُولَٰئِكَ مِنْكُمْ ۚ وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ

Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. [al-Anfâl/8 : 75]

Dan firman-Nya :

وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلَّا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَىٰ أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا ۚ كَانَ ذَٰلِكَ فِي الْكِتَابِ مَسْطُورًا

Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah). [al-Ahzâb/33 : 6]
.
Peristiwa penghapusan saling mewarisi ini terjadi pada saat perang Badr. Ada juga riwayat yang menjelaskan terjadi pada saat perang Uhud.

Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu menyebutkan, yang digugurkan adalah saling mewarisi, sedangkan tolong-menolong dan saling menasihati tetap disyariatkan. Dan dua orang yang telah dipersaudarakan bisa mewasiatkan sebagian harta warisannya untuk saudaranya. Inilah pendapat Imam Nawawi rahimahullah [5] .

Di antara bukti yang menunjukkan persaudaraan ini terus berlanjut namun tidak saling mewarisi, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara Salmân al-Fârisi Radhiyallahu anhu dengan Abu Darda’ Radhiyallahu anhu . Padahal Salmân Radhiyallahu anhu masuk Islam pada masa antara perang Uhud dan perang Khandaq. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mempersaudarakan antara Muawiyah bin Abi Sufyân Radhiyallahu anhu dengan al-Hattât at-Tamîmi Radhiyallahu anhu . Juga antara Ja’far bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu dengan Mu’adz bin Jabar Radhiyallahu anhu . Semua peristiwa ini terjadi setelah perang Uhud. Ini menunjukkan persaudaraan itu masih disyariatkan namun tidak saling mewarisi.

Pelajaran dan Hikmah
Sikap Abdurrahmân bin ‘Auf Radhiyallahu anhu terhadap tawaran saudaranya, yaitu Sa’ad bin Rabi’ Radhiyallahu anhu , merupakan iffah atau menjaga harga diri dengan tidak meminta-minta. Tampak kesiapan mental kaum Muhajirin untuk melakukan pekerjaan yang sanggup mereka lakukan.

Sumber:
– As-Sîratun-Nabawiyah ash-Shahîhah, Dr. Akram Dhiya` al-Umari.
– As-Sîratun-Nabawiyyah fi Dhau`il Mashâdiril-Ashliyah, Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. As-Sîratun-Nabawiyah ash-Shahîhah, hlm. 241.
[2]. Ucapan ini disampaikan sendiri oleh Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu , sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dalam al-Fath (10/41, no. 2294) dan Muslim (4/196/2529). Lihat as-Sîratun-Nabawiyah fi Dhau`il Mashâdiril-Ashliyyah, hlm. 302.
[3]. Ucapan ini dibawakan oleh Abu Sa’id dalam Syaraful-Musthafa sebagaimana juga disebutkan Ibnu Hajar dalam al-Fath (15/130). Dr. Akram Dhiya’ al-Umari mengatakan: “Nampaknya –wallahu a’lam- antara pendapat-pendapat ini tidak saling bertentangan. Karena persaudaraan itu tidak tuntas hanya dalam sekali pertemuan, namun tergantung dengan kedatangan orang yang baru (masuk) Islam dan yang baru tiba di Madinah. Riwayat yang terdapat dalam kitab shahîh didahulukan dari yang lainnya. Teks hadits riwayat Muslim mengisyaratkan, awal deklarasi dilakukan di rumah Anas bin Malik Radhiyallahu anhu “. Lihat as-Sîratun-Nabawiyah fi Dhau`il Mashâdiril-Ashliyyah, hlm. 302.
[4]. Hadits ini selengkapnya bisa dilihat dalam Shahîh al-Bukhâri, al-Fath, 9/133-134, no. 2048.
[5]. Lihat, Shahîh Muslim, 4/1960.

Link Sumber

22 tahun lebih engkau membangun peradaban
22 tahun lebih engkau membangun jiwa dan raga
22 tahun lebih engkau membangun kehidupan sesungguhnya

Muhammad,
hanya selaksa kelembutan yang engkau sebarkan
tak ada kesombongan sedikit pun pada pribadimu,
yang ada hanya ketegasanmu menegakkan hukum Allah ...

saat ini,

lebih dari 1400 tahun setelah engkau hadir,
walau kami tak pernah berjumpa dengamu,
namun kami tetap bersujud merendahkan kepala pada Allah,
tuk mengikuti pesan-pesan indahmu ...

engkau terlalu mulia untuk dibandingkan dengan siapa pun ...
maafkan kami yang seringkali khilaf tak menjadikan engkau tauladan terbaik
Ya Rasulullah, kekasih Allah ...


Katakanlah : “sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Maha Esa….” (QS Al Kahfi : 110)

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kamu, yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan menemui Allah dan Hari Akhir dan mengingat Allah sebanyak-banyak” (QS Al Ahzab : 21).

[Nukes 170614, dari yang dhaif]

lalu kuasa-Mu adalah segalanya
lalu air mata pun serentak jatuh ke bumi
lalu tiada kata yang tak menyanjungnya
lalu keteguhan hati terasa sulit menghampiri

lalu simponi kemarin terasa indah
lalu untaian kenangan terasa dekat
lalu harapan seakan sirna
lalu kesedihan menjadi nyata

lalu lidah pun terasa kaku berkata
lalu mata pun nanar memandang
lalu telinga pun tak ingin mendengar
lalu hati pun tak ingin merasa

namun masa lalu pasti tak kan kembali
namun masa lalu pasti sulit kugapai
namun masa lalu hanya sekedar angan

namun masa lalu pun akan terasa dekat, karena aku, kau, dia dan mereka berharap tabir Tuhan menjadi terbuka …
kehendak-Nya adalah segalanya
kuasa-Nya adalah bukan kuasa kita
dan rahasia-Nya adalah kenyataan

barangkali hikmah akan menjadi kebutuhan kita dalam setiap berubahnya waktu …

Contact Form

Name

Email *

Message *

Labels

Translate

Revolusi Akal dan Hati

Melewati sisi waktu yang tak terhenti, bernaung dalam ruang yang tak terbatas, untuk sebuah pemahaman yang tak berujung ...

Total Pageviews