Welcome to Kavtania's Blog

Melewati sisi waktu yang tak terhenti, bernaung dalam ruang yang tak terbatas, untuk sebuah pemahaman yang tak berujung ...
Follow Me


Palestina, air matamu adalah rahasia-Nya ...

Ya Rabb ...

Aku ingin berkata sederhana ...
Aku ingin melupakan keinginanku ...
Aku ingin mengabaikan rasa laparku ...

Aku ingin mengabaikan sahabat-sahabatku di sini sejenak ...
Aku ingin melupakan perbedaan antara aku dan sekelilingku ...

Saat ini ...
Aku ingin memohon ampun atas ketidakberdayaanku pada saudaraku di Palestina
Aku haru dan runtuhkan air mata pada seluruh panjat doaku
Namun aku menjadi sangat fakir dengan keterbatasanku ini

Ampuni aku Ya Allah ...
Aku hanya mampu berdoa pada Saudaraku di Palestina yang bahkan untuk menghela nafas sesaatpun begitu sulit ...
Aku hanya bisa menahan amarah berat di kerongkongan atas apa yang aku dengar, lihat dan rasakan ...

Aku hanyalah fakir yang menghitam legam pada keangkuhan diri ketika melihat tubuh kecil anak-anak Palestina berdiri tegap menjadi perisai kehormatan ... sementara aku di sini masih bernafas lega mengumbar senyum kehidupan dan masih sering mengingkari nikmat kebebasan hidup yang tlah Engkau berikan ...

Ampuni aku Ya Allah ...
Runtuhan air mata diri ini tak kan cukup mengimbangi perjuangan bunda-bunda di Palestina yang bahkan tak lagi dapat mengukur berapa banyak lagi sisa air mata yang akan mereka runtuhkan ke bumi mereka ...

Ampuni aku Ya Allah ...
walau segalanya adalah rahasiaMu jua,
ijinkan hambaMu yang dhaif ini tuk memohon melebarkan kecerahan indahnya kehidupan Saudaraku di Palestina
agar mereka lebih leluasa menghirup sejuknya embun pagi,
agar mereka lebih leluasa merasakan kehangatan mentari,
agar mereka lebih leluasa menyambut senja yang menentramkan,
dan agar mereka dapat tidur dalam malam bersama bintang-bintang yang mendamaikan ...

hingga entah kapan di suatu masa,
anak-anak Palestina leluasa bermain dan bermanja dengan ibunya,
bunda-bunda Palestina leluasa menyiapkan hidangan pagi di rumah surganya,
dan sang ayah leluasa mencium kening istrinya dan menggendong mutiara indahnya tuk menunaikan ibadah mencari nafkah di bumi-Mu Ya Rabb ...



MAKNA IDUL FITRI
Oleh : Ahmad Dahlan al-Fial Zain

Idul Fitri menurut makna yang berkembang di kebanyakan umat Islam adalah kembali kepada fitrah. Kata fitrah diartikan suci sehingga Idul Fitri bermakna kembali suci. Suci yang dikehendaki di sini menurut faham yang terpublikasikan sekurang-kurangnya oleh para da’i dan atau kaum agamawan bahkan akademisi adalah bersih dari dosa. Jadi Idul Fitri berarti kembali bersih dari dosa.
Rupanya Idul Fitri diartikan seperti itu seiring dengan pemahaman terhadap Hadits Nabi saw.:

“Barang siapa menegakkan amalan-amalan Ramadhan dengan penuh keimanan dan keikhlasan, maka akan diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu.”

Seandainya  seorang muslim melaksanakan Ramadhan  seperti yang dikehendaki Hadits tadi, maka saat ia akhiri bulan suci, pada momentum Idul Fitri, ia berada pada tahap penghapusan dosa-dosanya oleh Allah. Selanjutnya seorang muslim yang demikian berposisi seperti saat dalam usia bayi, suci tiada dosa.

Akan tetapi marilah kita lihat terminologi fitrah yang dipaparkan oleh para ahli dari berbagai bidang ilmu, mereka  merumuskan makna fitrah dalam redaksi  yang berbeda-beda tetapi mempunyi muatan makna yang relatif senada:

Al-Syarif Ali bin Ahmad al-Jurjaniy seorang ahli bahasa Arab dari Jurjan Persia, mendefinisikan fitrah sebagai watak yang senang menerima agama. Idul Fitri ia maknai  kembali kepada ajaran agama.

Para ahli fiqih mengartikan fitrah sebagai tabi’at yang suci dan asli yang dibawa manusia sejak lahir, belum pernah disentuh oleh cacat dan aib.  Idul Fitri menurut mereka kembali kepada keadaan suci seperti bayi yaitu beragama Islam.

Para ahli filsafat Islam mengartikan fitrah sebagai suatu persiapan sebelum lahir ke dunia untuk melaksanakan hukum Allah dan membedakan antara yang hak dan yang batil. Idul Fitri itu adalah kembali untuk melaksanakan hukum Allah.

Ibnu Abbas seorang ahli tafsir dari kalangan sahabat Nabi saw. mengatakan bahwa fitrah asli yang diberikan Allah kepada manusia adalah kecenderungan kepada agama Allah (Islam). Lebih jauh ia katakan : Fitrah itu sama sekali tidak dapat diubah. Jika ada seseorang yang cenderung kepada agama selain Islam, maka ia telah melawan fitrahnya. Oleh karena itu, tidak satu pun manusia senang untuk berbuat jahat. Meskipun ada seorang yang berani berbuat jahat namun nalurinya tetap tidak membenarkan perbuatan jahatnya. Pengaruh luarlah yang memaksanya untuk berbuat yang bertentangan dengan fitrah. Jadi Idul Fitri itu menurutnya adalah kembali kepada agama Islam.

Inti pikiran mereka dapatlah kiranya dirinci  sebagai berikut :

  • Al-Jurjani memaknai fitrah sebagai ajaran agama. Idul Fitri berarti kembali kepada ajaran agama.
  • Para ahli fiqih mamaknai fitrah sebagai beragama Islam. Idul Fitri berarti kembali beragama Islam
  • Para ahli filsafat memaknai fitra sebagai melaksanakan hukum Allah. Idul Fitri berarti kembali melaksanakan hukum Allah.
  • Ibnu Abbas memaknai fitrah sebagai agama Islam.  Idul fitri berarti kembali kepada agama Islam

Sepenangkapan saya, penggabungan keseluruhan paparan tentang pengertian Idul Fitri tadi dapat dimuarakan dalam suatu kesimpulan  bahwa Idul Fitri itu berarti “kembali kepada ajaran agama Islam dalam arti kembali melaksanakan hukum-hukum dan atau ketentuan-ketentuan Allah yang merupakan  dimensi ketauhidan.”

Barangkali pemahaman para ahli ilmu agama ini diilhami oleh Hadits Nabi saw. :

“Setiap makhluk manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah (beragama Islam yang pasrah kepada Allah). Tetapi ayah ibunyalah yang kelak akan menghantarkan  keyakinan agamanya  menjadi Yahudi, Nasrani atau  Majusi.”

Tataran penjelasan bahwa anak manusia yang baru lahir berkeadaan  ruh tauhid  dalam Hadits tersebut seiring dengan QS. al-A’raf ayat 172, yaitu :

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)"

Oleh sebab itu saat memasuki 1 Syawwal umat Islam diajarkan untuk bertakbir sebagai simbol kepasrahan untuk menjalankan ajaran Allah yang merupakan representasi hakekat tauhid.

Idul Fitri tidaklah menjadi proporsional bila dimaknai kembali kepada keadaan suci tak berdosa, tetapi mustinya dimaknai sebagai suatu keadaan manusia beriman yang suci berada dalam suatu komitmen bahwa oleh puasa Ramadhan ia mau merubah kehidupannya menjadi baik atau lebih baik dari semula dengan suatu langkah menjalankan setiap ajaran agama. Keadaan hati dan sikap pasca Ramadhan seperti inilah yang kemudian disebut oleh salah satu faham sebagai hakekat memperoleh Lailatul Qadar.

Pemahaman bahwa Idul Fitri itu kembali kepada kemauan untuk melaksanakan ajaran agama,  tidak diartikan kembali kepada keadaan suci tak berdosa memberi kontribusi atas tumbuhnya pemahaman serta bulatnya keyakinan  terhadap  firman Allah QS. al-Nisa ayat 17 :

“Hanya saja taubat yang diterima bagi Allah adalah untuk orang yang melakukan keburukan karena kejahilannya.”

Maksud kata “kejahilannya” yang tertuang dalam ayat tersebut ialah: 1. orang yang berbuat maksiat dengan tidak mengetahui bahwa perbuatan itu adalah maksiat kecuali jika dipikirkan lebih dahulu. 2. orang yang durhaka kepada Allah baik dengan sengaja atau tidak. 3. orang yang melakukan kejahatan Karena kurang kesadaran lantaran sangat marah atau Karena dorongan hawa nafsu.
Ayat ini secara dalalah isyariy (implisit) menjelaskan bahwa terdapat dosa yang tidak dapat diampuni, yaitu dosa karena suatu perbuatan buruk yang dilakukan bukan oleh karena ketidaktahuan pelakunya bahwa  perbuatan tersebut adalah dilarang agama.

Orang yang melakukan keburukan karena kesadarannya bahwa perbuatannya tersebut bermuatan ketidakadilan, seperti halnya suatu kegiatan buruk yang dilakukan seorang ahli ekonomi, programer komputer, ahli hukum pembuat peraturan, ilmuan, guru/dosen, pedagang, pandai besi, dan lain sebagainya hanya untuk keperluan gap keadilan dan atau untuk keperluan pragmatis ataupun keuntungan praktis personal atau komunitasnya kendatipun mereka melaksanakan puasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan keihlasan, maka saat beridul fitri tidaklah mereka ada dalam dimensi  bebas dosa. Bahkan sebenarnya mereka adalah pendosa yang dosanya tak tergantikan oleh puasa Ramadhan.

Akan tetapi atas momentum Idul Fitri terdapat ruang yang menekan mereka untuk melaksanakan ajaran agama sebaik-baiknya dengan suatu harapan bahwa pada tempo ke depan kehidupannya yang bersandar pada ajaran agama tersebut dapat terhitung dan terhimpun sebagai amal saleh yang bisa jadi jauh lebih baik secara kuantitas dan kualitas ketimbang keburukan yang pernah diperbuatnya. Barangkali inilah fenomena yang dikehendaki oleh ayat : “Kebaikan-kebaikan itu dapat meninggalkan keburukan-keburukan…”

Problem aksiologis atas pemikiran ini adalah bahwa Hadits Nabi saw. : “Barang siapa menegakkan amalan-amalan Ramdhan dengan penuh keimanan dan keikhlasan, maka akan diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu ” seperti tidak bisa dijadikan dasar kepercayaan agama.  Menurut saya, sepanjang pemaknaan terhadap Hadits tersebut parsial, memang ia tidaklah dapat dijadikan pegangan agama.
Dalam pada itu, Hadits tersebut sebenarnya  secara publikasi adalah populer dan familier di kalangan agamawan khususnya dan umat Islam pada umumnya. Sehingga sekalipun tanpa penelaahan kharijiy maupun penelaahan daakhiliy terhadapnya, ia lazim disebut sebagai Hadits Masyhur dalam arti non Hadits Ahad. Hadits seperti ini yang secara fungsi pendidikan, kendatipun bukan merupakan hasil penelitian tetapi menurut faktanya seperti telah memberi kontribusi bagi pendorong bagi umat Islam atas  kesediaannya untuk melaksanakan puasa Ramadhan, sesungguhnya secara epistemologis dapat dijadikan alat penjelas bagi ayat al-Qur’an. Jadi Hadits tersebut tidaklah serta merta diposisikan sebagai keterangan agama yang bertentangan dengan QS. al-Nisa ayat 17. Ia masih bisa difungsikan sebagai keterangan agama sepanjang prosedur pemahaman terhadapnya  memposisikan QS. al-Nisa ayat 17 sebagai aspek aksiomatik keterangan agama.

Sehingga inti pesan QS. al-Nisa ayat 17 : “tidak diterima taubatnya seorang pendosa karena dilakukan oleh kesadarannya” dalam struktur sistem nalar  silogisme diposisikan  sebagai patokan utama yang musti atau sebagai yang mayor, sedangkan Hadits tersebut sebagai keterangan agama penyerta, keterangan yang tidak bisa lepas dari keterangan utama.

Jadi cara mengartikan atau memahami Hadits tersebut haruslah kira-kira sebagai berikut : “Barang siapa yang menegakkan amalan-amalan Ramadhan dengan penuh keimanan dan keikhlasan, maka diampunilah dosa-dosa yang telah lalu yang dilakukan karena kejahilannya."


DIALOG : LALAN, RUDI, ASEP HILMAN YAHYA, FARID RIVAI DAN AL WAFA
September 21, 2010 at 8:45pm


Rudi : Nimbrung Ah...

Ada 2 orang memilik usia persis sama 15 tahun pada detik pergantian bulan pada 1 Syawal 1430 H. Kedua orang tersebut terdefinisikan oleh Tuhan memulai akil baligh pada detik pertama tanggal tersebut kemudian malaikat memulai pul...a pencatatan amal baik buruknya.

Selanjutnya kita misalkan ada 3 grade dosa, yakni dosa A, dosa B dan dosa C, dimana dengan mengambil asumsi menurut Skala Likert dalam statisitk, bobot besar dosa tersbut berturut-turut adalah: dosa A bernilai 3, dosa B bernilai 2, dan dosa C bernilai 1.

Jika oleh malaikat bahwa sejak detik pertama 1 Syawal 1430 H hingga tepat detik terakhir 30 Ramadhan 1431 H, kedua orang tersebut tercatat melakukan dosa sebanyak:

Orang ke-1: A = 100 kali B = 500 kali C = 700 kali
Orang ke-2: A = 200 kali B = 500 kali C = 400 kali

Dengan demikian, total nilai dosa yang dilakukan kedua orang tersebut masing-masing adalah:

Orang ke-1: A = 100 x 3 = 300 point B = 500 x 2 = 1.000 point C = 700 x 1 = 700 point Total point dosanya adalah 2.000 point.
Orang ke-2: A = 200 x 3 = 600 point B = 500 x 2 = 1.000 point C = 400 x 1 = 400 point Total point dosanya adalah 2.000 point.

Ternyata kedua orang tersebut memiliki total point dosa yang sama yakni 2.000 point.

Berikutnya ...

Saya tidak memaparkan grade pahala (sebagai bagian kepedulian bagi yang buka fesbuk pake handphone, karena nanti bete bacanya he... he ...), tetapi anggap saja total point pahala yang didapatkan oleh Orang ke-1 dan ke-2 masing-masing adalah 2.001 point dan 1.999 point.

Amalan keduanya selama ramadhan didasari keimanan dan keikhlasan yang penuh seperti pada hadits Rasulullah.

Pertanyaan sederhana saya:

Selama setahun penuh tersebut, yakni sejak detiak pertama 1 Syawal 1430 H hingga detik terakhir 30 Ramadhan 1430 H, apakah keduanya akan suci seperti ketika sebelum akil baligh? [ga usah jauh-jauh dulu suci seperti baru lahir loh :) ... ]

Monggo kita jama'ah fesbuk menjawabnya ... Kira-kira jawabannya seperti apa ya? :)

Saya slalu merenung dan berfikir, dengan analisis kuantitatif yang sangat-sangat sederhana itu saja, kita bisa jadi akan mengalami kesulitan yang luar biasa untuk mengukur timbangan dosa dan pahala kita. Lalu gimana klo gradenya lebih diperlebar menjadi 10 pangkat 12, kemudian diberikan faktor bobot untuk masing-masing grade dosa/pahala, serta menggunakan asumsi keterkaitan (relasi) fungsi antar dosa/pahala, Wah .... kayanya metode artificial intelegence, atau metode fuzzy logic tidak mampu untuk menjawabnya. Bisa jadi juga prosesor komputer tercepat kita akan "overheat" karena stress ngitungnya.

Lalu mari kita menengok lagi nukilan quran dan hadits note tersebut:

“Barang siapa menegakkan amalan-amalan Ramadhan dengan penuh keimanan dan keikhlasan, maka akan diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu.” [Hadits]

"Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" [QS 4:17]

Keawaman saya berpendapat, keduanya (dan mungkin hadits dan ayat lain) memberikan analisis kualitatif yang "tidak" memberikan kesimpulan "vonis" bahwa Idul Fitri akan menghapus seluruh dosa telah lalu.

Amalan-amalan mana yang telah dipenuhi, dosa-dosa apa saja yang terhapus, bagaimana mengukur variable keimanan dan keikhlasan selama ramadhan, yang dapat memenuhi syarat kriteria hadits tersebut?

Namun menurut pendapat fakir saya, Tuhan sudah memberikan kalimat kunci pada An-Nisa tersebut: "Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana".

Jadi klo pakai bahasa Panguragan: "Sing paling weru pisan kuh mung Gusti Allah. Tugase menuso mung ngerjakaen amalan2 sing bener, lan ngurangi doso saban waktu urip. Wis bli uso diitung-itung doso karo ganjarane menuso. Kuen kuh urusane gusti Allah"

Lagi pula, tidak malukah kita menghitung amalan dan "menuntut" penghapusan dosa kepada Allah, jika kita tahu kita tidak bisa mengukur nikmat gravitasi bumi yang diberikan kepada kita, nikmat jarak matahari ke bumi yang selalu terjaga, nikmat metabolisme tubuh yang teratur, nikmat paparan radiasi yang slalu berbanding terbalik dengan jarak, nikmat pandangan, penglihatan, rasa, pendengaran, dan nikmat "pengakuan" kita tentang adanya Tuhan, Yang Maha Pemberi Nikmat.

Wallahu a'lam


Asep Hilman Yahya:
Lagian kalo mengingat tantangan/resistensi terhadap amalan-amalan ibadah di bulan Ramadlan, sebetulnya relatif lebih kecil dibanding dengan 11 bulan lainnya. Bayangkan, apa susahnya puasa misalnya di tengah lingkungan dengan sikon yang "ber...puasa", apalagi konon syetan-syetan dibelenggu. Logikanya motivasi dan perjuangan amalan ibadah di luar bulan ramadlan bisa jadi lebih orsinil dan berbobot dibanding pada bulan ramadlan. Maka nggak salah-salah amat jika ada ungkapan : puasa atau qiyamu lail di bulan ramadlan itu BIASA, dan puasa atau qiyamu lain di luar bulan ramadlan itu LUAR BIASA......mau !?

Farid Rivai:
Menghitung pahala dan dosa agar kembali ke fitra, saya setuju dg perkataan wong panguragan,"sing paling weru pisan..." ga usah cape-cape ngitunge, dan ternyata nikmat Allah di Dunia jauh lebih besar dari apa yg isun kerjakan untuk beribadah... padaNya. Kontek Fitrah, spt suci bagaikan bayi baru lahir atau kembali ke ajarannya, menurut isun tafsir dari manusia agar termotivasi berbuat baik dg mengerjakan perintahnya dan menjauhi larangannya. Karena seyogyanya hanya Allahlah yg mengetahui. Barangkali Allah memberikan satu bulan kebijakan cukup istimewa, guna memotivasi manusia lebih baik lagi di dlm menjalankan tugasnya "beribadah" bersyukurbersykur berikutnya

Rudi:
Tamsil sejen romadhon kuh pado bae kayo wong "cuci darah" yo pak farid ... Sewise cuci darah dudu berarti darahe biso bersih maning persis sedurunge cuci darah.

Sejauh mana tingkat bersihnya darah setelah cuci darah tentu tergantung prilaku... pasien (amalan-amalan), keyakinan (keimanan) dan kesungguhan (keikhlasan) pasien terhadap keberhasilan cuci darah tersebut ... :)

By the way, ari "kamdiyah" Cerbon sih wis cuci darah durung ya pa farid + mas lalan? :)

Farid Rivai:
Aq mudah memahami tamsil mas rudi, tapi apa seperti itu ? ketika mau cuci darah banyak ureum,kret, dan met lain yg bersama darah (dosa), setelah di cuci kadar na, ureum, kret normal (dosa terbuang) tapi dlm kondisi normal, karena kalau met....(ureum, kret, dll) habis justru bahaya dlm tubuh. Kayae bli pas kuh, terkait dengan romadhon. Ramadhon menurut isun sebagai motivator utuk berbuat lebih baik, kata kyai Kos mestie setelah ramadhon keimanan qt bukanmenurun tapi justru lebih meningkat, karena latihan-latihan selama 1 bln, tapi karena manusia pada dasarnya (rata-rata) akan turun, dan syukur hanya berlangsung 11 bulan grafik penurunan (kalau terjadi turun), disitulah maha Penyayang Allah yg mengetahui tentang mahluqnya.
 
Al Wafa’:
Aku adalah KHAZANAH yang tersebunyi... demikian Tuhan berfirman.. oleh karena itu Ku-ciptakan makhuq.. agar Aku diketahui......

Dalam presfektif itulah mungkin qt bisa malihat / memahami akan ketentuan Allah.. termasuk dalam hal PAHALA atau... DOSA masing2 mahluq.....

Bahkan jika kita coba menujuk kepada Hadits Nabi SAW : " Tiada seorang Hambapun.. yang dapat masuk Surga karena amal ibadah yang dilakukannya... kecuali hanya dengan Rahmat Allah... kemudian para sahabat bertanya... "termasuk engkau ya Rasulullah... ? "... " Ya.. termasuk saya kecuali dengan Rahmat Allah...."

Jadi apa artinya.... hanya kepasrahan dan keikhlasan sajalah yang dapat mengantarkan kita kepada Rahmat Allah itu.... dan itu menurut hemat sy tidak bisa pakai pendekattan kuantitatif....

Wallahu 'alam......

Rudi:
@aw: coba lebih seksama menyimak penjelasan sy. Justru sy menolak kuantitaif pak :)@fr: pertanyaan terakhr saya lum dijawab :)@ad: contoh bahasa kampung = "wis guno coh" :)



SUMBER TULISAN:
https://www.facebook.com/notes/ahmad-dahlan-al-fial-zain/dialog-lalan-rudi-asep-hilman-yahya-farid-rivai-dan-al-wafa/10150255084685599


PESERTA DIALOG diantaranya:

Pak LALAN: Ketua Sekolah TInggi Agama Islam Cirebon & Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Cirebon  (Ilmu Syariah)
https://www.facebook.com/adahlan1?fref=ufi

Pak FARID: Direktur AKPER & Sekeretaris Persatuan Perawat Nasional Indonesia Cirebon (Ilmu Kesehatan)
https://www.facebook.com/Farid.Rivai?fref=ufi

AL WAFA (Pak EBEN): Ketua Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Cirebon & Pimpinan Pondok Pesantren Al Ishlah Cirebon
https://www.facebook.com/eben.sahlan?fref=ts

Salah satu budaya di desa saya ketika kondangan adalah beras dijadikan 'transaksi angpao kondangan' oleh para undangan dan pemilik hajat. Beras ini akan dikembalikan dengan jumlah yang sama ketika para undangan pada suatu saat nanti menjadi sebagai pemilik hajat. Dengan kata lain, proses 'kondangan beras' di desa saya bisa dikatakan sebagai bentuk arisan.

Ada satu hal menarik yang kita bisa cermati dari pola kondangan beras tersebut. Mengapa mereka memilih beras, bukan uang sebagai 'media arisan kondangan'. Hal ini bisa jadi karena dilatarbelakangi oleh para orang terdahulu sudah meyakni bahwa nilai beras tidak akan berubah sementara nilai uang sebagai alat tukar bisa berubah.

Ketika Si A memberikan 100 kg beras sebagai kondangan saat diundang hajatan oleh Si B, maka ketika Si A mengadakan hajatan semisal 5 tahun kemudian, Si B pun akan memberikan kondangan 100 kg beras pula dengan kualitas yang sama.

Coba kita bayangkan jika Si A memberikan uang senilai Rp 500.000 sebagai pengganti 100 kg beras saat kondangan itu, dan si B pun memberikan Rp 500.000 pada 5 tahun kemudian di hajatan Si A. Maka 'nilai uang 500 ribu' si B pasti lebih rendah dari Si A.

Namun sepertinya pada kalangan remaja atau generasi zaman sekarang justru nilai-nilai kepahaman dari generasi terdahulu di kampung tentang uang sebagai sekedar alat tukar ternyata mulai berubah. Generasi sekarang hanya ingin berfikir praktis, tidak mau repot membawa beras. Padahal justru perubahan dari beras ke uang dalam sistem kondangan arisan di kampung malah akan menjadi persoalan baru dalam berkehidupan masyarakat.

Tragedi Yunani adalah salah satu dari dampak global akibat uang dijadikan sebagai komoditi bukan sebagai alat tukar sementara. Uang kertas yang tak bernilai dicetak untuk dibungakan. Bahkan alat tukar pun seharusnya senilai dengan barang atau jasa yang kita transaksikan.

Uang terus menerus dicetak dan ditambahkan berlipat-lipat sementara produktivitas barang dan jasa menurun. Akibatnya Yunani terjerat oleh 'perdagangan utang atau pengkomoditian uang' yang harus dibayarkan oleh negara kepada lembaga pemberi utang. Sungguh memprihatinkan.

Video berikut menjelaskan tentang gagalnya sistem ekonomi berbasis Uang Fiat.



Mari kita kembali pada suasana 'zaman dulu' dimana barang dijadikan sebagai sesuatu yang lebih berharga daripada uang. Uang hanya lembaran kertas yang difungsikan sebagai alat tukar. Bukan komoditi. Maka jangan sekali-kali membuat nilai uang menjadi bertambah mengikuti waktu, karena uang bukan 'barang' yang harus dijual-belikan. Dan melipatgandakan nilai uang sangat dekat dengan aktiitas riba atau bahkan riba itu sendiri. Terkecuali uang tersebut dicetak dalam bentuk barang yang berharga seperti kepingan dinar atau logam berharga lain.


“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabb-nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan melipat-gandakan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang senantiasa berbuat kekafiran / ingkar, dan selalu berbuat dosa.” (QS. al-Baqarah [2]: 275-276)

wallahu a'lam


Saat kita masih kecil masih bayi, jiwa kita masih bersih sehingga kita belum memerlukan orang lain untuk membersihkan dan menyucikannya. Namun fisik kita bisa kotor, oleh karenanya kita membutuhkan pertolongan orang lain seperti ayah dan ibu kita untuk membersihkan kotoran dalam tubuh kita. Orang tua kita rutin memandikan untuk membersihkan daki yang ada di badan, atau mencebokkan untuk membersihkan kotoran yang kita keluarkan.

Ketika sudah beranjak besar dan menjadi dewasa, kita tak perlu lagi membersihkan kotoran fisik tersebut karena kita bisa membersihkannya sendiri secara mandiri, kecuali ketika dalam keadaan sakit. Namun sebaliknya amat berbeda terhadap jiwa kita. Jiwa kita sudah mulai kotor dengan kesalahan dan dosa hidup.


Tatkala jiwa kita sudah mulai kotor tersebut, secara logika, kita pun seharusnya masih tetap membutuhkan pertolongan orang lain untuk membersihkannya, baik dalam bentuk nasehat atau pun kritikan.

Maka amat sangat mengherankan jika masih banyak dari kita yang seringkali tidak mau menerima nasehat dan kritikan dari orang lain dengan cara tidak membuka kran ruang dialog.
Apakah kita melupakan masa kecil kita ketika banyak kotoran badan yang tidak bisa kita bersihkan sendiri? Entahlah ...

Selamat pagi buat semuanya. Semoga hari ini dan hari-hari selanjutnya, kita dapat lebih memaknai masa kecil masing-masing untuk dapat mengambil hikmah tentang pentingnya membersihkan jiwa dan fisik kita dari setiap kotoran yang dapat menghitamkan hidup kita. Aamiin ...

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr [114]: 1-3)

wallahu a'lam ...

Contact Form

Name

Email *

Message *

Labels

Translate

Revolusi Akal dan Hati

Melewati sisi waktu yang tak terhenti, bernaung dalam ruang yang tak terbatas, untuk sebuah pemahaman yang tak berujung ...

Total Pageviews