Welcome to Kavtania's Blog

Melewati sisi waktu yang tak terhenti, bernaung dalam ruang yang tak terbatas, untuk sebuah pemahaman yang tak berujung ...
Follow Me
Selama dan pasca pilpres intensitas saya membuat postingan di sosial media lumayan meningkat. Dan salah satu postingan tersebut berkaitan dengan karakteristik pendukung capres. Gareth Smith dan Andy Hirst (2001) berpendapat bahwa karakteristik konstituen bisa terbagi dalam 3 (tiga) segmentasi, yakni Attitude and Psychographic Segmentation,Demographic and Geographic Segmentation, danBehavioral Segmentation. Dan saat itu saya memberikan kategori pada masing-masing segmentasi seperti yang terlihat pada gambar.




Saat itu tidak banyak uraian dari saya berkaitan dengan latar belakang motivasi atau basis dukungan dari masing-masing pendukung pada keseluruhan segmentasi yang ada. Dan akan saya coba ulas di sini.

Secara garis besar, basis dukungan memiliki 4 (empat) latar belakang yang khas, yakni:
1. Pendukung Berbasis Kedekatan Ideologi
2. Pendukung Berbasis Kepentingan Pragmatis
3. Pendukung Berbasis Kecukupan Berfikir
4. Pendukung Berbasis Kealamian Berfikir

Masing-masing pribadi atau kelompok pendukung bisa jadi memenuhi satu, dua tiga atau bahkan empat kategori tersebut. Namun salah satu dari keempatnya pasti ada yang paling kuat menjadi pertimbangan dalam mendukung Jokowi.

1. Pendukung Berbasis Kedekatan Ideologi
Jika melihat peta segmentasi pendukung, maka pendukung yang berbasis ideologi berasal dari Kaum Sekuler seperti Fasis, Ateis, dan Komunis (FAK), Islam Tradisional dan Dogmatis, Kelompok Syiah dan sebagian NU, Islam Liberal, dan sebagian besar Non Muslim Militan. Kelompok ideologi adalah kelompok yang paling sulit berubah, apalagi jika militansinya kuat. Kelompok pendukung ini bisa berasal dari berbagai partai, berbagai profesi, dan berbagai komunitas lain. Beberapa diantara mereka termasuk kaum pemikir. Di kalangan elit, tokoh masyarakat ataupublic figure, mereka adalah ibarat para ‘menteri’ dan ‘panglima’ yang menggerakan pendukung di keempat kategori tersebut.

Maka tidak heran pada banyak media mainstream, elit dan tokoh tersebut khususnya yang berlatar belakang akademisi, peneliti, atau pun seniman populer, dijadikan sebagai trigger (pemicu) melajunyasnowball sebuah opini.

Pendukung kategori ini relatif lebih sulit untuk berubah pendirian karena kekuatan kesamaan ideologi tadi. Walaupun ada kekecewaan terhadap beberapa sikap Jokowi, mereka masih menyimpan harapan secara umum bahwa Jokowi bersa KIH lebih mampu memfasilitasi tumbuh kembangnya ideologi mereka. Dan ini terbukti terjadi pasca Jokowi menjadi Presiden, seperti pada kasus fasilitasi kemudahan gerakan syiah, terbukanya kristenisasi, pengosongan kolom agama di KTP, dan sebagainya.

2. Pendukung Berbasis Kepentingan Pragmatis
Pendukung Kategori Kedua ini tak mesti harus sama ideologi. Bahkan dari partai-partai yang berbasis religius (baca: Islam) atau ormas Islam pun sangat memungkinkan menjadi pendukung tipe kategori ini. Sodorkan kesamaan kepentingan jabatan (untuk dunia), harta (untuk dunia), bisnis (untuk dunia), latar belakang kadaerahan, dan aspek primodialisme yang lain (atas nama dunia) maka akan sepenuh hati dan otot untuk mendukung Jokowi.

Maka tidak heran selepas Jokowi terpilih, dalam rangka menggoda iman mereka, yang disodorkan sebagai umpan kepada partai-partai Islam adalah kursi menteri (lagi-lagi dengan tujuan dunia). Secara komunitas partai mungkin akan sulit didapatkan, tetapi elit-elit partai akan mudah digoyang ideologi keislamannya dengan virus wahn (cinta dunia dan takut mati). Dan komentar dari para elite di kategori ini lagi-lagi dijadikan sebagai snowball trigger kepada masyarakat melalui media mainstream suporter KIH.

Berbeda halnya dengan pendukung berbasis ideologi, maka pendukung kategori ini akan mudah pindah haluan. Syaratnya cukup mudah, kepentingan pragmatis mereka tidak terfasilitasi oleh Jokowi dan KIH. Fenomena beralihnya sebagian elite atau organisasi relawan atau bahkan media mainstream dalam pendukung tipe ini bisa dijadikan sebagai gambaran nyata betapa mudahnya mereka berubah haluan jika tidak mendapatkan ‘buah’ dukungannya.

3. Pendukung Berbasis Kecukupan Berfikir
Pendukung Kategori Ketiga adalah pendukung dengan persentase paling banyak, saya perkirakan lebih dari 70% total pendukung yang mencoblos (akun siluman tidak termasuk). Pendukung tipe ini seringkali ngototnya lebih hebat dari para pendukung tipe pertama dan kedua yang justru sebenarnya adalahthink maker. Dan pendukung kategori ini banyak berkeliaran di sosial media.

Walau didominasi oleh latar belakang pendidikan dasar dan menengah, tidak sedikit pula pendukung kategori ini termasuk berlatar belakang pendidikan tinggi namun awam persoalan ilmu politik, ekonomi, sosial, filsafat, dan sejenisnya. Mereka belum atau tidak berfikir secara komprehensif atau holistik dalam menganalisis sesuatu. Dan tidak sedikit pula pendukung kategori ini adalah tokoh-tokoh terkenal. Mereka para tokoh tersebut mengenal dan menilai Jokowi hanya dari satu atau dua sisi tanpa melakukan observasi lebih lanjut dengan memperbanyak variabel ukur dan meninjaunya dari banyak aspek.

Salah satu ciri dari pendukung ini yang aktif di sosial media adalah kalau sedang diajak berdiskusi akan berujung debat. Dan kalau kalah argumentasi atau pun uji data dalam berdebat, mereka menggunakan jurus OOT alias Out of Topics atau bahkan tinggal pergi tanpa pesan. Tidak ada case closed dalam proses diskusi apalagi debat.

Ciri lain dari mereka adalah selalu melakukan generalisasi pada pendukung Koalisi Merah Putih (KMP). Membuat asumsi bahwa seluruh pendukung KMP sama saja atau bahkan seperti perilaku mereka. Postingannya juga lebih banyak kampanye dibandingkan membuka ruang diskusi atau ilmu pengetahuan. Bahkan sebagian dari tipe pendukung ini adalah kelompok yang sejak awal sudah tidak respek dengan KMP atau Prabowo secara personal.

Karakteristik lainnya lagi adalah jika berdebat dalam media sosial biasanya tidak berani untuk berargumentasi dulu dengan mengerahkan seluruh potensi akalnya. Namun mereka harus menunggu dulu argumentasi dari Jokowi atau think maker dari elite Pendukung Kategori 1 dan Kategori 2 di atas. Bahkan mereka yang berjenis kelamin pria lebih menyukai ‘aktivitas kewanitaan’ seperti gosip menggosip, sindir menyindir, olok mengolok, atau puji memuji ‘idolanya’. 

Maka tidak heran jika seringkali ditemui, manakala ada perilaku Jokowi yang dianggap tidak sesuai dengan hati nurani mereka, maka mereka menunggu dulu ada penjelasan yang bisa ‘dimasukkan akal’ sebagai bahan adu argumentasi. Proses pembenaran akhirnya tumbuh di sini. Sebab mereka berargumentasi bukan karena produk fikir mereka sendiri, namun ‘asal comot’ argumentasi orang lain.

Mungkin pendukung seperti inilah yang sebagian masyarakat mengistilahkan dengan pendukung cinta buta atau para fans club. Mereka menganggap Jokowi seperti artis idola. Setiap kesempatan selalu mencari pesona Jokowi dan langsung merepublikasikan di media sosial kesayangannya dan diberikan sedikit komentar seperti 'I Love You Jokowi', 'Satrio Paningit yang ditunggu-tunggu', 'Semakin Cinta', dan ungkapan ‘keremajaan’ sejenisnya. Contoh sederhananya, Jokowi dipasang di cover Times dipujinya lebih selangit dibandingkan prestasi Habibie di dunia internasional misalnya.

Saya pribadi lebih menyukai menyebutnya denganRobot Supporter. Mudah dikendalikan oleh 'sang remote' tapi amat mudah kongslet dan terbakar kalau sirkuitnya kena air atau hubungan singkat. Pemegang remotenya tentunya adalah Jokowi itu sendiri dan para think maker yang melemparkan bola salju untuk mengendalikan opini publik melalu media mainstream nya.

Ketika menemui banyak kekeliruan Jokowi dan dibenarkan oleh hati nurani, kategori pendukung berbasis kecukupan berfikir ini sebagian ada yang langsung berubah menjadi tidak mendukung, dan sebagian lain tetap menjalankan romansa kecintaannya pada sang idola. Bahkan ada sebagian lagi yang mengambil sikap ‘diam tanpa pesan’ karena malu-malu mengungkapkan kebenaran atau perubahan dukungannya.

Jangan banyak berharap bisa menemukan kritikan konstruktif kepada Jokowi dari pendukung kategori ini. Sebab amat jarang yang melakukannya. Yang mereka lakukan malah sebaliknya, meminta orang lain untuk berlaku seperti mereka, memberikan dukungan dan memuji Jokowi. Bagi mereka, semua hal yang dilakukan Jokowi diupayakan harus benar terlebih dahulu. Atau bahkan segala sesuatu yang berkaitan dengan Jokowi juga harus dipanadang benar pula seperti misalnya perilaku menterinya, perilaku KIH, dan aktivitas turunan lainnya, bahkan pada hal yang sekecil mungkin. Pembelaan lebih didahulukan daripada penelusuran kebenaran.
Tentu masih ingat bagaimana pembelaan serampangan pada kasus seperti Mbak Susi merokok, ketidakseragaman informasi sumber dana Program Kartu atau KIH membuat DPR Tandingan. 

4. Pendukung Berbasis Kealamian Berfikir
Pendukung Kategori Keempat ini adalah pendukung yang memiliki tingkat rasionalitas paling tinggi. Mereka mendukung karena benar-benar dari produk fikir mereka. Melalui penelusuran yang mendalam terhadap referensi yang berkaitan dengan Jokowi, dan melakukan analisis komparasi atau pengambilan keputusan dengan menggunakan variabel yang sekomprehensif mungkin. Jumlahnya relatif sedikit, dan amat jarang ditemui ekplorasi pemikiran mereka di sosial media. Namun sekali menulis, kemampuan analisisnya cenderung bagus.

Ciri pendukung ini adalah mudah untuk diajak diskusi. Selalu mengedepankan argumentasi yang ilmiah, dan jarang sekali atau bahkan tidak pernah menggunakan kosa kata yang tidak santun apalagi kosa kata hewani. Bahkan mereka terkadang memilih diam jika sudah menemui suasana yang tidak kondusif.

Pendukung berbasis kealamian realistis ini akan mudah sekali melakukan kritik pada pak Jokowi jika dipandang tidak sesuai dengan pemikirannnya. Dan akan mudah pula untuk menarik dukungannnya dengan alasan yang lebih logis. Sebab bagi mereka, selama Jokowi bisa mengedepankan kepentingan masyarakat yang lebih banyak, maka akan tetap didukung.


Sikap Kita

Dalam menyikapi keempat tipe pendukung ini tentunya berbeda. Disesuaikan dengan kondisi ruang dan waktu serta persoalan yang ada. Pendekatannya bisa dilakukan dengan manajemen kalbu atau bisa pula dilakukan dengan manajemen akal atau mengkombinasikannya. Tergantung pada kesiapan masing-masing, diri kita dan diri mereka. Terkhusus untuk pendukung kategori yang berbasis kecukupan berfikir.

Namun apapun kondisinya, mereka adalah saudara sebangsa dan setanah air. Jangan pernah melakukan hal-hal yang tidak konstruktif dalam mengkritisi mereka. Sebab bisa jadi ketika mereka melakukan kekeliruan apapun, adalah karena ketidaktahuan. Lagi pula, bisa jadi perilaku keliru pada mereka juga ada pada KITA.

Satu hal yang mesti kita ingat bahwa supporter selalu ada di luar pertandingan. Dan sehebat apapun seorang supporter, tidak akan pernah menjadi pemain sesungguhnya selama pertandingan berlangsung.

Semoga bangsa ini tetap menjadikan santun dan budaya gotong royong dalam kebaikan sebagai nilai-nilai yang indah dalam aturan-aturan yang sudah digariskan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan konstitusi negara. Aamiin …



Air sering dipersonifikasikan oleh manusia sebagai kesejukan dan kehidupan. Sementara api dipersonifikasikan sebagai kemarahan dan kematian. Lalu apakah api dengan personifikasi negatifnya adalah makhluk ciptaan Tuhan yang tak berguna sama sekali?

Ada satu hal yang mesti kita cermati bahwa air membutuhkan api agar menjadi matang dan terhindar dari bakteri. Tanpa api (panas), maka air tidak mengalami siklus keberlangsungannya di muka bumi. Penguapan dan Kondensasi  adalah proses keseimbangan yang indah dalam menjaga siklus air. 

Sehebat apapun api mengenai air, tidak akan mampu merubah hakikat air. Perubahan panas ketika mengenai air hanya dapat merubah wujud fisik air untuk menjadi es, menjadi uap, atau menjadi air lagi. Beda halnya ketika api bertemu dengan kayu misalnya, hanya akan membuat kayu menjadi sisa karbon dan asap.

Namun api tetaplah api. Hanyalah sebentuk alat bantu. Sementara air adalah pelaku utamanya. Keberadaan api saja hanya menciptakan rasa panas. Sementara keberadaan air saja, tetap menciptakan kesejukan.

Itulah mengapa, api dalam ilmu kimia hanya mengandung unsur Hidrogen (H2). Sementara air, di samping mengandung Hidrogen (H2), juga  memiliki Oksigen (O) dalam sebuah ikatan molekul yang kuat. Dan kita tahu, oksigen adalah unsur yang menjaga nafas kehidupan.

Maka, kehidupan neraka digambarkan oleh Tuhan dengan api yang menyala-nyala karena bisa jadi di dalamnya berisi insan-insan yang terbiasa marah, angkuh dan personifikasi sifat api lainnya. Sementara kehidupan surga digambarkan sebagai air sungai yang mengalir di dalamnya karena bisa jadi insan-insan yang berada di surga adalah mereka yang kehidupannya penuh kesejukan dan kedamaian.

Tuhan sudah memberikan keseimbangan dalam hidup atas kehendak-Nya agar kehidupan bisa berjalan dengan sinergis. Malaikat yang berakal dan Iblis yang memiliki nafsu. Manusia adalah makhluk yang diberikan potensi keduanya. Manusia akan menjadi sangat mulia dibandingkan malaikat jika mampu menggunakan akalnya untuk mengendalikan nafsu. Sebaliknya, manusia  menjadi sangat hina jika lebih memperturutkan hawa nafsu dibandingkan penggunaan akalnya.

Masuk surga karena berakal saja seperti malaikat adalah hal yang biasa. Namun masuk surga karena mampu mengendalikan hawa nafsu dengan kemampuan akalnya adalah hal yang luar biasa. Dan masuk neraka karena lebih menyukai mempotensikan hawa nafsu saja adalah kerugian yang nyata.

Apakah mampu menata api untuk menjaga hakikat air untuk keberlangsungan kehidupan atau membiarkan api menguapkan air sehingga kehidupan terhenti pada satu siklus, atau malah kita memposisikan sebagai kayu bakar yang mudah hangus terbakar oleh api? Pilihan ada pada kita semua.‎

"Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air, maka bertemulah air-air itu untuk suatu urusan yang sungguh telah ditetapkan." (QS Ar-Rahman [55]: 12)

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari angkasa berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi iru segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (Keesaan dan Kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan." (QS. Al-Baqarah [2]: 164)

"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?" (QS Ar-Rahman [55]: 17) 

Wallahu a'lam



Melanjutkan resensi singkat tentang Fenomena Ada Apa Dengan Cinta 2014 yang pernah saya tulis sehari setelah video AADC 2014 dipubish, pada tulisan ini saya hanya sekedar ingin membuka rahasia pertanyaan Rangga untuk Cinta yang saya yakin sebagian besar penonton Film AADC 2002 dan Mini Seri AADC 2014 belum banyak yang ketahui. Padahal jawaban atas pertanyaan Rangga tersebut adalah berapa lama ia akan kembali menemui Cinta.

Mari kita cermati puisi yang Rangga dan Cinta ungkapkan pada AADC 2014 ini:

Rangga:
Adalah cinta yang mengubah jalannya waktu.
Karena cinta, waktu terbagi dua
Denganmu dan rindu untuk membalik masa
Detik tidak pernah melangkah mundur tapi kertas putih itu selalu ada

Cinta:
Waktu tidak pernah berjalan mundur
Dan hari tidak pernah terulang
Tetapi pagi selalu menawarkan cerita yang baru

Rangga:
Untuk semua pertanyaan yang belum sempat terjawab

Perhatikan ungkapan terakhir Rangga pada puisi tersebut: “Untuk semua pertanyaan yang belum sempat terjawab”.

Pertanyaan apakah gerangan yang ditanyakan Rangga dalam AADC 2002 yang belum terjawab? 
Mengapa Cinta harus menunggu 12 tahun untuk bisa bertemu Rangga?
Mengapa satu purnama di NewYork harus berbeda dengan satu purnama di Jakarta?
Mengapa akhirnya Cinta mau menemui Rangga di Bandara dalam AADC 2014? 
Apakah Cinta sudah menemukan jawabannya?


Dan mari kita simak puisi Rangga dalam AADC 2002 yang dibaca Cinta dalam buku yang ditinggalkan:

Perempuan datang atas nama cinta
Bunda pergi karena cinta
Digenangi air racun jingga adalah wajahmu
Seperti bulan lelap tidur di hatimu
yang berdinding kelam dan kedinginan
Ada apa dengannya
Meninggalkan hati untuk dicaci
Lalu sekali ini aku melihat karya surga
dari mata seorang hawa
Ada apa dengan cinta

Tapi aku pasti akan kembali
“dalam satu purnama”
untuk mempertanyakan kembali cintanya..

Bukan untuknya, bukan untuk siapa
Tapi untukku
Karena aku ingin kamu
Itu saja.

Pertanyaan Rangga tentang kapan dia akan kembali adalah:
“Jika p salah satu akar dari persamaan x^2 + 2x – 3 = 0, berpakah nilai dari 2 (p – p^3) …”

Saat Cinta merenung dan berfikir pada malam harinya di  AADC 2014, ternyata dia sudah menemukan jawaban atas pertanyaan Rangga dan makna 1 purnama dalam puisi Rangga. Jawabannya adalah 12. Ya, 12 tahun Cinta harus menunggu Rangga.

Ternyata 1 Purnama di New York = 144 Purnama di Jakarta

Namun sayangnya cerita dalam tulisan ini hanyalah fiksi belaka akibat AADC Effect!



PARADIGMA PEMIKIRAN KEAGAMAAN DALAM MEMBANGUN PERADABAN MANUSIA YANG LEBIH BAIK MELALUI KONSEP TEKNOLOGI INFORMASI
(Tinjauan Pemikiran dalam Epistemologi Hukum Islam)

Oleh: Drs. A. Dahlan, M.Ag *)

A. PENDAHULUAN

Manusia adalah hewan yang berfikir (man as the animal that reasons), demikian pandangan Aristoteles dalam merumuskan hakekat perbedaan antara manusia dengan binatang. Dalam ilmu Mantik (logika) ditemukan rumusan tentang manusia, sejalan dengan pandangan Aristoteles tersebut, yaitu : “Al-insan hayawan nathiq”, yang artinya : Manusia itu adalah hewan yang nathiq, yang mengeluarkan pendapat, yang berkata-kata dengan menggunakan fikirannya. Tegasnya, manusia adalah makhluk yang berfikir, bahkan Rene Descartes (1596 – 1650), seorang filosof penyangsi modern, berkata : “Saya berfikir sebab itu saya ada” (Cogito ergo sum) (Anshari, 1990 : 14 – 15).

Beerling, sebagaimana dikutip oleh Endang Syaefuddin Anshari (1989 : 4 – 5) mengatakan, “Sartre, filosof eksistensi Perancis dewasan ini malah mengatakan bahwa kesadaran manusia adalah bersifat bertanya yang sebenar-benarnya.”

Endang Syaefuddin Ansyari (1989 : 6) menghubungkan antara berfikir dengan bertanya, bahwa hakekat berfikir itu adalah bertanya. Jadi deskripsi tentang manusia ialah : Manusia adalah makhluk yang berfikir. Berfikir berarti bertanya. Bertanya adalah mencari jawaban. Mencari jawaban berarti mencari kebenaran. Mencari jawaban tentang sesuatu artinya mencari kebeneran tentang sesuatu.

Dari uraian tersebut dapatlah kiranya disimpulkan bahwa manusia itu pada hakekatnya adalah makhluk pencari kebenaran. Jika demikian adanya, maka sesungguhnya manusia adalah pencari kebenaran hakiki.

Dalam pada itu, menurut keterangan sejarah dialektika teologi Islam, keluasan berfikir manusia dalam menentukan kebenaran hakiki akan sesuatu tertentu mempunyai keterbatasan. Akal sebagai sarana berfikir tidak mampu mengidentifikasikan Tuhan, kecuali sifat-sifaf-Nya. Akal juga tidak dapat mengetahui cara yang tepat menyembah Tuhan atau berterimakasih kepada Tuhan (Nasution, t.t. : 96 – 97).

Generalisasi yang berkembang adalah bahwa sesungguhnya manusia itu tidak dapat mengetahui kebenaran hakiki. Kenyataan ini menjadi kausa bagi munculnya thesa bahwa pada manusia ada potensi dasar kecuali berfikir, yaitu kepercayaan.
Percaya ialah sifat dan sikap membenarkan sesuatu atau menganggap sesuatu sebagai benar ( Ansyari, 1990 : 125 ).

Keterbatasan berfikir dalam menemukan kebenaran hakiki, membuat kegiatan pikir acap berdampingan dengan kepercayaan terhadap suatu keterangan yang bukan merupakan produk pikir. Bisa jadi keterangan yang dominan dipercaya oleh manusia adalah keterangan agama, sebab agama tidak saja menjawab pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh akal, tetapi ia banyak berhubungan dengan hati, (Ansyari, 1990 : 120-122;Trueblood, 1965 : 2 – 5).

Manusia yang nenercayai keterangan agama, dapat disebut sebagai insan beragama. Bahkan mungkin tidak berlebihan jika ia disebut sebagai pengabdi Tuhan yang padanya tidak akan ditemukan kekacauan. Akan tetapi manusia seperti ini, sehubungan dengan apresiasinya yang dominan terhadap keterangan agama, pada tataran tertentu bisa berada dalam subjektifitas pikir dalam melihat suatu produk peradaban, apalagi peradaban kekinian. Hal ini terjadi, mungkin karena produk peradabab dimaksud tidak tertuang dalam keterangan teks-teks agama. Dampaknya. Bisa jadi agama seperti memebri kontribusi atas kemandegan peradaban.

Uraian tadi memunculkan masalah, yaitu : Produk peradaban manusia tidak selalu tertuang dalam teks-teks ajaran agama. Sedangkan agama merupakan sarana konsultasi bagi manusia, sebab keterangan agama mempunyai muatan kebenaran yang lebih tinggi daripada keterangan akal pikiran manusia.

Adapun pertanyaan perumusan masalah yang mengemuka adalah: 

1. Bila suatu produk peradaban tidak tertuang dalam teks-teks agama, apakah berarti agama tidak menghendaki dinamika peradaban manusia ?
2. Bila agama menghendaki keteraturan atau kebaikan bagi manusia, sedang ia dengan akalnya tidak selalu dapat menemukan kebaikan atau kebenaran hakiki atas suatu tertentu, sementara teks-teks agama tidak menjelaskannya, maka bagaimanakah seharusnya prosedur pemahaman terhadap ajaran agama ?


B. PROSEDUR PEMAHAMAN ATAS AJARAN AGAMA

1. Sifat Berlakunya Ajaran Agama
Berikut ini penulis paparkan pemikiran analitik Prof. DR. Syuhudi Ismail (1994 : 3). Di dalam al-Qur`an suratal-Maidah (5) ayat 3 Tuhan menjelaskan :  Agama Islam adalah agama yang sempurna; Ia telah melimpahkan karunia nikmat-Nya secara tuntas ke dalam agama itu; dan Ia rela Islam dijadikan sebagai agama yang berlaku untuk semua umat manusia.

Pertanyaan Tuhan ini, memberi petunjuk bahwa agama Islam selalu sesuai dengan segala waktu dan tempat. Serta untuk semua umat manusia dalam segala ras dan generasinya.

Dalam pada itu, masyarakat manusia pada setiap generasi dan tempat, selain memiliki berbagai kesamaan juga memiliki berbedaan dan kekhususan. Perbedaan dan kekhususan itu mungkin disebabkan oleh perbedaan waktu dan atau mungkin disebabkan oleh tempat.

Jika ajaran Islam yang sesuai dengan segala waktu dan tempat ini dihubungan dengan berbagai kemungkinan persamaan dan perbedaan masyarakat tersebut, maka berarti di dalam Islam ada ajaran yang berlakunya tidak terikat oleh waktu dan atau tempat tertentu. Jadi dalam Islam ada ajaran yang bersifat universal, ada yang temporal, dan ada yang lokal.

Menurut Al-Qur`an surat Saba (34) ayat 28, Nabi Muhammad SAW. Diutus oleh Tuhan untuk semua umat manusia :”28. Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan,…”- (Soenarjo dkk, 1990 : 688) Selain itu sebagia rahmat bagi seluruh alam. Sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Anbiya (21) ayat 107 : _“107, Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam;” (Soenarjo dkk, 1990 : 508). Hal ini berarti kehadiran Nabi Muhammad SAW. membawa kebajikan dan rahmat bagi semua umat manusia dalam segala waktu dan tempat.

Dalam pada itu, hidup beliau faktanya dibatasi oleh waktu dan tempat. Kalau begitu ajaran Nabi Muhammad SAW yang merupakan salah satu sumber utama agama Islam setelah al-Qur`an yang sekaligus penjelas atasnya, mengandung ajaran yang sifatnya universal, temporal, dan lokal pula.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari deskripsi logik ini adalah bahwa dalam ajaran Islam ada ajaran yang sifat berlakunya universal, temporal dan lokal. Asumsi ini bila ditarik ke dalam konteks prosedur pemahaman terhadap ajaran Islam, maka merekomendasikan cara memahami ajaran agama yang tertuang dalam Al-Qur`an dan Hadits dengan pola mengidentifikasi mana ajaran yang sifat berlakunya universal, temporal, dan lokal.

Untuk memasuki pemahaman yang lebih mendalam atas kesimpulan tersebut, maka perlu melihat konsep al-Syathibi tentang mashlahat. Menurutnya, ajaran Islam yang sifat berlakunya universal adalah ajaran Primer (pokok dan musti), yaitu : Mashlahat aspek Dharuriyat, ia harus berlaku di berbagai ruang dan waktu. Sedangkanm ajaran Islam yang sifat berlakunya temporal dan lokal adalah ajaran Sekunder dan ajaran Tertier, yaitu : Mashlahat aspek Hajiyat dan Mashlahat aspek Taksiniyat. Ia tidak harus berlaku diberbagai ruang dan waktu tetapi berlaku menurut ruang dan waktu tertentu. Adanya ajaran yang bersifat Sekunder adalah untuk keperluan sebagai media bagi tetap terlaksananya yang Primer. Adapun adanya ajaran yang bersifat Tertier adalah untuk terbangunnya keindahan, lagi baik dalam pelaksanaan yang Primer dan Sekunder.

Makna filosofis adanya dua sifat ajaran tersebut bila ditarik kedalam konteks pemahaman teks-teks agama adalah suatu kebijakan yang mengandung ajaran agar syariat Islam tidak selalu harus dipahami secara tekstual. Pemetaan terhadap dimensi ajaran agama ini adalah untuk menghilangkan keketatan makna harfiah yang pelaksanaannya membawa rintangan atau bahkan kerusakan.

Pada tingkat teknis, dalam proses memahami ajaran agama, harus menggunakan pola mengidentifikasi mana ajaran Primer, Sekunder, dan Tertier. Untuk kemudian didahulukan ajaran yang berdimensi Primer ketimbang lainnya. Dalam pengertian, tidak di benarkan melaksanakan yang Sekunder dan atau Tertier untuk menghilangkan yang Primer. Atau sebaliknya, melaksanakan yang Primer sedang aspek Sekunder dan aspek Tertier tidak dipertimbangkan sama sekali. Sebab bila demikian, maka ajaran agama ada dalam kekakuan, tidak memasuki demensi mashlahat (kebaikan) yang diperhitungkan Tuhan, yaitu : kebijakan agama yang nyata-nyata membuat baik manusia, baik lahir maupun batin.


Contoh penerapan konsep ini ialah sebagai berikut : Puasa Ramadhan perlu dilakukan oleh setiap muslim demi terciptanya kebaikan bagi dirinya melalui proses berbuat baik kepada Tuhan dan sesama (aspek Dharuriyat/Primer). Secara ritual, seseorang dibenarkan meninggalkannya untuk diganti pada bulan selain Ramandhan demi keselamatan fisik karena berpergian (aspek Hajiyat/Sekunder). Dalam suatu pengertian, tidak dibenarkan meninggalkan puasa karena alasan tersebut untuk kemudian tidak diganti pada hari di luar Ramandhan. Dalam pada itu sepanjang ia dalam keadaan berbuka oleh dispensasi tersebut, tidaklah ia di pandang baik jika berperilaku sebagaimana lazimnya orang yang tidak berpuasa (aspek Tahsiniyat/Tertier) seperti : tidak cakap dalam bersikap baik pada Tuhan atau sesama; makan atau minum di tempat umum; apalagi berhubungan suami istri di siang hari.

Dari ilustrasi tersebut, dapatlah ditangkap bahwa ajaran agama menurunkan kebijakan berdimensi Dharuriyat, Hajiyat, dan Tahsiniyat dalam proses pelaksanaan taklif, tak lain merupakan suatu wujud perhatiaan Tuhan terhadap hamba atas kebutuhan riel-nya (biologis dan psikologis). Tuhan memperhitungkan apa yang paling baik bagi kebutuhan nyata hamba-Nya di ruang waktunya masing-masing, sehingga ajaran agama yang pada tingkat pelaksanaannya membawa rintangan, kesulitan, atau bahaya dapat ditolerir untuk ditinggalkan. Maksudnya, tidaklah suatu ajaran agama mesti diterapkan secara litterluks, hal ini demi mengikuti kebutuhan hamba berdasarkan ruang dan waktunya (Al-Syatiby, juz, II : 7 – 12 ; masud, 1996 : 324 – 327)

Kesimpulan yang segera diperoleh ialah bahwa sistem memahami ajaran agama sebaiknya tidak harus melulu harfiah dan parsial, atau berada dalam keketatan harfiahisme dan atau mengikuti keterangan eksplisit teks-teks agama yang khusus, sehingga suatu persoalan yang tidak dibahas secara tersurat oleh teks ajaran menjadi tidak ada tempat dalam agama. Sebaliknya, hendaknya suatu ajaran dipetakan berdasarkan sifat berlakunya atas tiga dimensi tadi. Prosedur berfikir dengan sistem ini, memberi ruang pada pemahaman terhadap ajaran agama secara substansial dan kontekstual. Artinya, bahwa suatu produk pikir atau peradaban sepanjang memberi kontribusi bagi kebaikan manusia kendatipun tidak ada pembenaran secara eksplisit dalam teks-teks agama tetap dipandang bermuatan spirit agama.

2. Posisi Ajaran Agama dalam Proses Pembentukan Kebijakan Fikir
Ajaran agama yang sifat berlakunya universal adalah aspek Dharuriyat (Primer), sedangkan ajaran agama yang sifat berlakunya temporal dan lokal adalah aspek Hajiyat (Sekunder) dan aspek Tahsiniyat (Tertier). Ketiga aspek ini merupakan tujuan agama yang kemudian oleh al-Syathibiy (juz I, t.t : 7 – 11) disebut Maqashid al-Syari’ah atau mashlahah (perlindungan kepentingan)

Aspek Dharuriyat ( Primer) ialah tujuan agama yang mesti ada demi adanya kehidupan. Apabila aspek ini tidak tercapai, maka akan menimbulkan kerusakan bagi kehidupan manusia di dunia dan akherat. Kebutuhan hidup yang Primer ini hanya bisa tercapai bila terpelihara lima tujuan agama (Dharuriyat Khams). Kelima tujuan agama tersebut ialah : (1) Memelihara agama, (2) Memelihara jiwa, (3) Memelihara akal, (4) Memelihara keturunan atau kehormatan, dan (5) Memelihara harta.

Aspek Hajiyat (Sekunder) dipertimbangkan agar aspek Dharuriyat (Primer) terselenggara. Ia dibutuhkan untuk memperluas (tawassu’) tujuan agama yang Primer dan untuk menghilangkan keketatan makna harfiah yang penerapannya membawa kepada rintangan dan kesulitan yang akhirnya menimbulkan kerusakan Primer yang berarti kerusakan manusia (Maqashid atau mashlahah : Tujuan agama). Jadi jika Hajiyat (Sekunder) tidak dipertimbangkan bersama dengan Dharuriyat (Primer), maka manusia secara keseluruhan akan menghadapi kesulitan, akan tetapi rusaknya Hajiyat tidaklah merusak seluruh aspek mashlahat (tujuan agama) Sebagaimana Dharuriyat, jika ia rusak, rusaklah seluruh aspek tujuan agama.

Aspek Tahsiniyat (Tertier) ialah tujuan agama yang ditujukan untuk menyempurnakan hidup manusia dengan cara melaksanakan apa yang baik atau sesuai (paling layak) menurut kebiasaan (adah) dan menghindari hal-hal yang tercela menurut akal sehat atau menghindari cara-cara yang tidak lazim dilakukan oleh orang bijak.

Ketiga aspek tujuan agama ini harus terintegral, menjadi orientasi menusia dalam mengarungi hidup, dengan tidak hanya mengambil salahsatu dari ketiganya. Pada tingkat teknis, sistem yang harus dikembangkan dalam proses pencapaiannya adalah dengan menjadikan yang Primer sebagai prioritas utama. Agar aspek Primer terpenuhi, maka setiap rintangan bagi pencapaian terhadapnya, seperti kesempitan yang dihadapi seseorang, harus diluaskan. Penerapan prinsip yang disebut terakhir, merupakan penerapan aspek Sekunder (Hajiyat), ia adalah penunjang bagi tercapainya yang Primer (Dharuriyat). Sementara itu pelaksanaan yang Primer dan Sekunder tetap dalam kerangka penerapan yang Tertier pula. Hal ini ditujukan agar kehidupan terbagun dalam keelokan. Pada tahap berikutnya, mesti mengemuka suatu pemahaman bahwa tidak dibenarkan mengedepankan salahsatu dari ketiga aspek tersebut dengan menafikan yang lainnya, seperti menegakan yang Tertier, tetapi yang Primer dan atau Sekunder tidak dilaksanakan.

Dalam pada itu, pola pencapaian atau perlindungan kepentingan atas tujuan agama ini, mengambil bentuk dengan dua cara yaitu : Perlindungan positif (penyelenggaraan) dan preventif (pencegahan hilangnya mashlahat : Tujuan agama). Tujuan ibadah merujuk kepada pemeliharaan agama, seperti : Iman, mengucapkan dua kalimat syahadat, mengeluarkan zakat, melaksanakan puasa Ramadhan, dan bentuk-bentuk ibadah lainnya. Tujuan muamalah merujuk kepada pemeliharaan jiwa, akal, keturunan, dan harta. Sedangkan tujuan pidana, yang meliputi amar ma`ruf nahi munkar, merujuk kepada keseluruhan tujuan agama yang lima (aspek Primer).

Berikut  in adalah contoh bentuk pencapaian aspek Primer dengan cara perlindungan positif (penyelenggaraan) dan preventif (pencegahan):

1. Pemeliharaan agama, tingkat penyelenggaraannya adalah harus adanya keimanan. Sedangkan pada tingkat preventif dalam rangka memelihara agama adalah kewajiban berjihad.

2. Pemeliharaan jiwa, tingkat penyelenggaraannya adalah dibolehkan makan dan minum, tempat tinggal, dan apa saja yang dapat terselenggaranya kehidupan. Sedangkan pada tingkat preventif dalam rangka memelihara jiwa adalah adanya hukum diyat dan qishas

3. Pemeliharaan akal, tingkat penyelenggaraannya seperti apa yang diajarkan dalam pemeliharaan jiwa. Sedangkan tingkat preventif dalam rangka memelihara akal adalah dilarang mabuk-mabukan dan segala akibatnya.

4. Pemeliharaan keturunan, tingkat penyelenggaraannya adalah diajarkannya nikah, hadhanah (memelihara), dan nafakah. Sedangkan tingkat preventif dalam rangka memelihara keturunan adalah dilarangnya berzina dan pelaksanaan had atasnya

5. Pemeliharaan harta, tingkat penyelenggaraannya adalah diajarkannya segala bentuk muamalah di antara manusia. Sedangkan tingkat preventif dalam rangka memelihara harta adalah diharamkannya mencuri dan segala akibat-akibatnya.

Adapun tercapainya aspek Sekunder, sebagai penyanggah tujuan Primer dalam:

1. Ibadah, sebagai bentuk penyelenggaraan pemeliharaan agama, bila dalam prosesnya terdapat kesempitan, maka dibolehkannya untuk mengambil dispensasi (rukhshah)

2. Adah dan muamalah, sebagai bentuk penyelenggaraan pemeliharaan jiwa, akal, keturunan dan harta, dibangun kebijakan agar mengambil bentuk yang paling mudah dalam perolehan keempat hal tersebut. Dalam pengertian lain, bila dalam proses pemeliharaan keempatnya terdapat kesempitan atau kesulitan, maka dalam : (a) Adah, dibolehkannya berburu dan menikmati segala yang baik-baik selama hal itu dihalalkan, baik berupa makanan, minuman, sandang, papan, dan sebagainya. (b) Muamalah, dibolehkan qirod (memberi hutang), musaqah (asosiasi pertanian) yakni sistem kerjasama dalam pertanian berupa bagi hasil atau paroan, dan salam yakni sistem jual beli melalui pesanan dan pembayaran di muka atau di kemudian hari setelah terjadi penyerahan barang.

3. Pidana, sebagai bentuk penyelenggaraan pemeliharaan aspek Primer secara keseluruhan (agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta) bila dalam prosesnya terdapat kesempitan, maka seorang hakim dalam beracara dibolehkan mengambil keputusan atas bukti yang lemah dan tak mencukupi demi kepentingan umum.

Sedangkan tercapainya aspek Tertier yang merupakan sarana bagi kebijakan ajaran agama agar proses penyelenggaraan pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta ada dalam keindahan, maka bentuknya dalam :

1. Ibadah dicerminkan dengan adanya ketetapan hukum bersuci (thaharah), menutup aurat, mensucikan dan membersihkan najis, berhias, melaksanakan kebaikan dalam bentuk shadaqah, dan sebagainya.

2. Adah tercermin dengan adanya hukum dan etika tentang bagaimana seharusnya makan dan minum, dianjurkannya tidak berlebih-lebihan (isyraf) dalam berbagai hal terutama dalam adah (kebiasaan), dan sebagainya.

3. Muamalah tercermin dari adanya larangan menjual barang najis dan sebagainya

4. Pidana tercermin dari adanya ketentuan yang melarang membunuh wanita dalam peperangan dan larangan membunuh seorang merdeka sebagai pengganti budak

Etika-etika tersebut merujuk kepada kebaikan dan keutamaan demi tercapainnya tujuan-tujuan ajaran agama yang bersifat Primer dan Sekunder. Bila aspek Tertier ini tidak tercapai, tidaklah mengakibatkan hilangnya esensi ajaran Primer dan Sekunder (Al-Syathibiy, jilid I, t.t : 9 –10; masud 1996 : 248 – 255; S. Praja, 1995 : 100 – 103).

Dari uraian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa setiap kebijakan pikir harus mengakomodir ajaran agama yang berdimensi Primer, sehubungan ajaran model ini sifat berlakunya universal menembus berbagai ruang dan waktu. Dalam suatu pengertian, demi terbangunnya aspek ini, maka pada tingkat pelaksanaan hendaknya memperhitungkan kenyataan-kenyataan yang berkembang di suatu ruang dan waktu tertentu. Pengertian selajutnya adalah bahwa fenomena temporal dan lokal dapat menjadi prioritas pilihan dalam suatu kegiatan kebijakan pikir, sepanjang ia memberi kontribusi bagi terbangunnya aspek Primer. Dominan berfikir temporal dan lokal (pendekatan induktif) dibenarkan sepanjang sejalan dengan semangat ajaran agama.


C. KESIMPUAN DAN REKOMENDASI

1. Kesimpulan
a). Menurut faktanya, teks–teks agama merespon fenomena ruang dan waktu masa–masa awal saat suatu agama dibangun. Kenyataan ini bila dilihat dari sudut ruang dan waktu berikutnya, mendesak bagi adanya sistem pemikiran pemetaan ajaran agama kepada sifat berlakunya atas dimensi universal, temporal dan lokal.
Implikasi pemahaman yang mengemuka adalah bahwa ajaran yang berdimensi universal merupakan ajaran Primer. Sedangkan ajaran berdimensi temporal dan lokal merupakan ajaran Sekunder dan Tertier.

Hal itu berarti bahwa pelaku kebijakan pikir diberi sarana untuk menemukan apa yang terbaik berdasarkan ruang dan waktunya, sepanjang temuan kebijakan berdimensi temporal dan lokal tersebut memberi ruang bagi terlestarinya ajaran Primer.

Dengan demikian, sesungguhnya agama membenarkan suatu dinamika peradaban.

b). Posedur pemahaman atas ajaran agama yang lazim dikedepankan  dalam membangun kebaikan manusia adalah dengan pendekatan induktif (metode Induktif)

2. Rekomendasi
Penerapan teknologi informasi adalah wilayah keduniaan yang prosedur pembenaranya lazim diproses berdasarkan perhitungan mana yang dominan manfaatnya bagi ruang dan waktu tertentu, dengan tanpa menafikan penerapan ajaran agama yang Primer.
Adapun pola penelitian yang dapat membenarkan penerapan teknologi informasi yang merepresentasikan muatan ajaran Primer, Sekunder, dan Tertiar adalah sebagai berikut :

a). Apakah teknologi informasi memberikan kontribusi bagi terealisasinya sekurang-kurangnya salahsatu dari ajaran Primer?

b). Apakah telah terdapat fakta dan atau data bahwa penerapan teknologi informasi benar-benar mendatangkan manfaat, dalam arti dapat mengentaskan kerusakan?

c). Apakah teknologi informasi memberikan manfaat bagi sebagian besar orang, bukan sebagian orang tertentu saja?

d). Apakah teknologi informasi dipastikan dapat memberikan kemudahan bagi kepentingan tertentu?

Adapun temuan sementara yang ter-cover adalah sebagai berikut:
a). Teknologi informasi memberi kontribusi bagi perlindungan agama (salah satu aspek Primer). Aspek Preventif dalam rangka memelihara agama adalah berjihad. Sedangkan teknologi ini dapat menjadi sarana jihad dalam bentuk mengikuti perkembangan peradaban. Sebab betapa seperti terpuruknya  suatu agama jika pemeluknya ada di garis terbawah, padahal kenyataan keterbelakangan tidak mengelokan bagi perspektif dakwah.

b). Teknologi informasi memberi kontribusi bagi efektivitas dan efensiensi kerja. Dampaknya akan terbangun volume kerja yang baik dan proporsional.

c). Teknologi informasi memberi kontribusi bagi terbangunya manfaat atas kebanyakan orang. Misalnya,  jika ia terterapkan di suatu lembaga jasa, maka banyak orang terlayani tanpa harus memakan banyak waktu.

d). Teknologi informasi memberi kontribusi atas terciptanya kemudahan. Karena teknologi ini memepunyai beberapa fasilitas, di antaranya : Menyimpan data secara valid dan seseorang tidak memerlukan waktu relatif banyak saat membutuhkan data yang tersimpan di dalamnya.

D. DAFTAR PUSTAKA

Abu Ishaq al-Syathibiy
t.t. Al-Muwafaqat fiy Ushul al-Syari’ah, juz 1, Dar al-Kutub  al-‘Ilmiyah, Bairut.________________
t.t. Al-Muwafaqat fiy Ushul al-Syari’ah, juz 2, Dar al-Kutub  al-‘Ilmiyah, Bairut.

David Trueblood
1965 Pilosphy of Religion, Terjemah, Bulan Bintang, Jakarta.

H. Endang Syaefudin Anshari, MA
1989 Kuliah Al-Islam, CV. Rajawali, Jakarta._________________________
1990 Ilmu, Filsafat dan Agama, PT.Bina Ilmu, Surabaya.

Prof. Dr. Harun Nasution
t.t. Teologi Islam, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Dr. Juhaya S. Praja
1995 Filsafat Hukum Islam, LPPM Universitas Islam Bandung, Bandung.

Mohammad Khalid Masud
1996 Filsafat Hukum Islam, Terjemah, Pustaka, Bandung.

Prof. Dr. Pudjawijatna
1967 Tahun dan pengetahuan, Pengantar Keilmu dan Filsafat, Tanpa Penerbit.

Soenarjo Dkk
1990 Al-Quran dan Terjemahan, Mujamma`Khadim al-Haramain asy-Syarifain al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushhaf asy-Syarif, Medinah.

Prof. Dr. H.M. Syuhudi Ismail
1994 Hadis Nabi yang Tekstual dan Konstektual, Bulan Bintang, Jakarta.

) Penulis adalah Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Cirebon dan Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Cirebon



Menyimak berita tentang diberlakukannya lagi ekspor pasir besi oleh pemerintah Jokowi setelah sempat terhenti total sejak 12 Januari 2014, mengingatkan saya pada masa kuliah saat dosen Ilmu Bahan (Material) Pak Kusnanto menjelaskan tentang Potensi Pasir di Cilacap yang diekspor ke Jepang saat itu sekitar tahun 1996.

Beliau yang pemegang 6 Hak Paten Ciptaan Teknologi Material di Jerman menjelaskan bahwa potensi pasir di Cilacap yang diekspor 'mentah' memiliki kandungan Titan yang signifikan. Harga jual pasir sangat jauh dibandingkan dengan kandungan keseluruhan Ferum, Titan, dan unsur lain yang dimiliki material pasir yang diekspor mentah tersebut.

3 tahun lalu di Puspitek Serpong saya bertemu lagi dengan beliau yang sekarang menjadi Direktur Produksi PT Indo Nuklir yang sebelumnya bernama PT Batan Teknologi, sebuah BUMN yang bergerak di bidang teknologi nuklir, dan beliau lagi-lagi berprestasi menciptakan teknologi pengayaan uranium tingkat rendah yang produksinya merajai pasar dunia.

http://ft.ugm.ac.id/yudiutomo-dan-kusnanto-invasi-merajai-pasar-radioisotop-dunia/

Namun saat itu beliau tidak bercerita banyak tentang perkembangan ekspor material mentah tambang di Indonesia termasuk tentang Pasir di Cilacap. Mungkin karena saya tidak menanyakan atau karena kebijakan yang melarang ekspor bahan tambang mentah saat itu masih berlaku.

Sebagai anak bangsa, menghadapi kenyataan dibukanya lagi peluang ekspor bahan tambang mentah ini membuat hati miris. Betapa tidak, kita yang memiliki sumber daya alam, kita juga memiliki potensi sumber daya manusia yang mampu mengelolanya, namun kita lebih menyukai 'berdagang praktis' hanya sekedar mengejar keuntungan cepat sesaat pada masa kini.

Ruang kebijakan pemerintah pada kemandirian penguasaan teknologi dalam pengelolaan sumber daya alam oleh anak-anak bangsa sendiri sepertinya semakin tertutup rapat. Sumber daya alam habis, pakar-pakar teknologi banyak yang dibeli oleh pihak asing, dan akhirnya anak cucu kita di masa depan hanya kebagian 'sampah sisa' kekayaan alam bangsa ini. Anak cucu kita kelak mungkin hanya disuguhkan sebuah sejarah dalam buku sekolah mereka bahwa tanah air tempat lahirnya pernah kaya dengan potensi sumber daya alam yang dimiliki.

Seperti halnya potensi sumber daya alam yang lain, Pasir adalah potensi kelangsungan kehidupan negara ini. Pasir yang memiliki kandungan kwarsa, ferum, titan atau bahkan zeolit yang memiliki nilai jual tinggi seharusnya mampu 'menyanggah' keberlangsungan kehidupan bangsa ini. Namun sepertinya dengan diberlakukannya kebijakan ini, Pasir Kehidupan anak cucu kita akan berubah menjadi Pasir Kesengsaraan generasi anak bangsa di masa-masa yang akan datang.

Mari bersama-sama berdoa dan berusaha semoga Indonesia selalu terjaga dari tangan-tangan kotor asing dan pengkhianat bangsa yang hanya bertujuan mengisi kantung perutnya saja yang bahkan volumenya tidak lebih dari satu galon.

Sumber berita:http://industri.kontan.co.id/news/esdm-restui-penambang-pasir-china-buat-ekspor
Mengikuti perkembangan program Tiga Kartu Sakti (TKS) yang diklaim sebagai program otentik milik pemerintah Jokowi dan menjadi polemik dalam beberapa pekan ini membuat saya tertarik untuk mengulasnya.

Berkiatan dengan sumber dana, saya pribadi mengalami kesulitan dalam melakukan validasi informasi yang cenderung mendekati kebenaran berkaitan dengan sumber dana Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) sebab Jokowi dan beberapa pejabat dalam pemerintahannya memberikan pernyataan yang berbeda-beda. Dalam konteks sebagai sebuah program ‘baru’, maka ada 2 (dua) peruntukkan anggaran penyediaan, yakni anggaran yang diperuntukkan dalam pembuatan kartu dan anggaran untuk penyelengaraan program.

1. Presiden Joko Widodo mengakui bahwa anggaran kartu berasal dari APBN. Namun, Jokowi tidak mengetahui persis komponen yang dipakai dalam anggaran itu.
Pemerintah Tak Kompak

2. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan anggarannya berasal dari APBN 2014
Pernyataan JK

3. Menteri Kebudayaan Pendidikan Dasar dan Menegah Anies Baswedan mengatakan anggarannya berasal dari program pendidikan pada pemerintahan sebelumnya, yaitu Bantuan Siswa Miskin (BSM), bukan dari CSR BUMN.
Pernyataan Anies

4. Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek mengatakan anggarannya berasal dari Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Pernyataan Nila

5. Mensesneg Pratikno mengatakan anggarannya berasal dari CSR BUMN.
Pernyataan Pratikno

6. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan anggarannya berasal dari Dana Bendaharawan Umum Negara (BUN).
Pernyataan Khofifah

7. PDI-P sebagai kolaisi pendukung pemerintah mengatakan anggaran berasal dari APBN 2014 dan APBN 2015 dan membantah sumber anggaran dari CSR.
Pernyataan PDIP
Pernyataan PDIP 2

Menganalisis semua pernyataan pejabat tersebut, maka saya memiliki kesimpulan sementara dan beberapa pertimbangan sebagai berikut:

1. Belum adanya keseragaman dalam meyampaikan informasi dari berbagai pejabat menteri dalam pemerintahan Jokowi kepada masyarakat. Kondisi ini amat memprihatinkan karena bisa menimbulkan persepsi yang berbeda-beda di kalangan masyarakat. Atau dengan bahasa sederhana, Presiden, Wapres, dan para menteri tidak kompak dalam menjelaskan sumber anggaran program kartu tersebut. Bahkan sebagian masyarakat ada yang menilai dengan bahasa emosional bahwa telah terjadi ketidakpintaran dalam melakukan kebohongan publik secara bersama-sama dari pejabat pemerintah pada masyarakat.

2. Program TKS adalah program lama pemerintahan SBY dengan sedikit dimodifikasi. Kartu Indonesia Sehat (KIS) sebagai nama baru dari Program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan), Kartu Indonesia Pintar (KIP) sebagai nama baru dari Program Bantuan Siswa Miskin (BSM), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) sebagai nama baru dari Program Kartu Perlindungan Sosial (KPS). Jika hal ini benar, maka sebaiknya pemerintah Jokowi memberikan informasi yang seragam bahwa program TKS adalah bukan program baru namun sebuah kegiatan melanjutkan program pemerintahan sebelumnya dengan sedikit modifikasi.

3. Sumber anggaran pengadaan kartu dan pelaksanaan program untuk tahun ini berasal dari APBN Tahun 2014 bukan dari CSR (corporate social responsibility), dan akan dilanjutkan menggunakan APBN 2015 yang sudah dirumuskan pemerintah sebelumnya untuk kelanjutan prorgam pada tahun depan. Jika hal ini benar, maka sebaiknya pemerintah menjelaskan mata anggaran dalam DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) APBN 2014 yang berkaitan dengan program tersebut sebagai upaya transparasi pemerintah. Sebab belum ada pernyataan dari pejabat pemerintah yang menyatakan program tersebut berasal dari APBN yang menjelaskan mata anggaran DIPA program.

4. Pengadaan kartu tidak dilakukan melalui tender terbuka tetapi melalui penunjukan langsung (PL) atau pemilihan langsung (PML), sebab jarak antara pengadaan kartu dan pelantikan presiden terlalu dekat yang tidak memungkinkan dilaksanakannya prosedur tender terbuka. Jika ini benar, maka sebaiknya pemerintah Jokowi atau pejabat terkait dapat memberikan landasan hukum yang digunakan dalam menetapkan metode pengadaan PL atau PML tersebut sesuai dengan perundang-undangan tentang aturan pengadaan agar mampu menunjukkan motto jujurnya dan menghindari dugaan-dugaan terjadinya kolusi yang bisa melemahkan pemerintahan beliau. Terlebih lagi dengan adanya informasi bahwa pengadaan pembuatan kartu ‘diberikan’ kepada CV Grammi Communication Technology milik Bimo Sarashadi yang disinyalir sebagai Michael Bimo Putranto yang notabene sedang terlibat dalam kasus Bus Transjakarta seperti dilansir oleh  CV Pemenang Proyek dan Link PKS Piyungan

Saya pribadi sangat apresitif terhadap langkah pemerintah Jokowi untuk menyegerakan pelaksanaan Program TKS tersebut. Namun jika dilakukan dengan tergesa-gesa maka hasilnya akan mejadi tidak optimal bahkan bisa menjadi kontraproduktif. Hal-hal yang sebaiknya diperhatikan dalam pelaksanaan program tersebut adalah:

1. Penguatan landasan hukum yang digunakan dalam pelaksanaan program, baik dalam hal penganggaran, teknis pelaksanaan, atau pun hal lain yang berkaitan.

2. Penegasan bahwa program TKS adalah kelanjutan program pemerintahan sebelumnya.

3. Efektifitas sosialisasi program kepada semua pihak baik yang berkaitan dengan landasan hukum yang digunakan, anggaran yang dipakai, proses pengadaan yang dilakukan, hingga penjelasan pelaksanaan program itu sendiri.

4. Perbaikan sistem pelaksanaan program sehingga tidak tumpang tindih dengan program-program sejenis untuk mengurangi ketidakefetifan kegiatan termasuk pemborosan anggaran negara.

5. Menghindari pernyataan atau upaya yang mengarah pada pembenturan legistatif dengan rakyat. Semisal jika ada yang menanyakan landasan konstitusional dan sebagainya adalah seakan-akan tidak berpihak pada rakyat.
Semoga saja ke depan pemerintah Jokowi tidak hanya mampu mendesain program-program kerja yang bagus, namun mampu juga berkomunikasi efektif dengan rakyatnya berkaitan dengan program-program tersebut.

Niat baik seharusnya dilakukan dengan cara yang baik untuk menghasilkan yang baik pula. Jika niat baik tidak dilakukan dengan cara yang baik, maka akan cenderung menghasilkan sesuatu yang tidak baik. Begitupula sebaliknya suatu cara yang tidak baik dengan hasil yang tidak baik cenderung berawal dari niat yang tidak baik.

Seperti halnya radiasi nuklir, niat adalah sesuatu yang tersembunyi namun bisa dibaca dan dirasakan dampaknya. Dan salah satu cara untuk membaca niat yang baik adalah kualitas KEJUJURAN dan KETERATURAN pada aturan.

Wallahu a’lam…



Contact Form

Name

Email *

Message *

Labels

Translate

Revolusi Akal dan Hati

Melewati sisi waktu yang tak terhenti, bernaung dalam ruang yang tak terbatas, untuk sebuah pemahaman yang tak berujung ...

Total Pageviews